REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Satu hal yang tidak sempat terangkat dalam kapal kemanusiaan dan itu sangat dibutuhkan warga Gaza adalah pekerjaan, listrik, dan jalan keluar. Kalimat ini menjadi pembuka artikel yang menggambarkan sulitnya kehidupan warga Gaza, yang termuat dalam koran Amerika, Washington Post. Artikel ini mengakui betapa sulitnya kehidupan warga setempat setelah Israel memblokade Gaza dalam lima tahun terakhir.
Blokade telah menjadikan Gaza menghadapi masalah yang begitu kompleks dan kebiasaan hidup darurat. Hampir 80 persen penduduk Gaza, saat ini tidak punya pekerjaan. Hidupnya sangat bergantung pada bantuan dari luar. Washington Post menggambarkan, saat ini Gaza menjadi seperti sebuah negara yang perekonomiannya hancur.
Rumah sakit, sekolah, pembangkit listrik, semuanya dalam kondisi rusak parah. Barang-barang yang terpapar di toko kelontong pun kebanyakan barang Israel yang diupayakan masuk lewat Mesir. Tapi itu pun jumlahnya terbatas. Pemandangan seperti ini antara lain terlihat di salah satu toko kelontong di jalan utama Gaza, yakni Jalan Salah al Din.
"Saat warga Barat datang, mereka akan melihat pemandangan khas seperti ini," kata Omar Shaban, ahli ekonomi di Gaza. Bantuan yang datang kepada masyarakat Gaza dari pihak asing, tidak semuanya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. "Hampir semua orang di sini punya microwave," ungkap dia. Bahkan di kamp-kamp pengungsian pun warga memiliki perabotan modern, meski tempat tinggalnya nyaris runtuh. Barang-barang tersebut merupakan bantuan dari pihak asing.
Tujuan utama Israel memblokade Gaza, menurut Washington Post, adalah untuk menghentikan penyaluran senjata ke Hamas, dan melemahkan otoritas organisasi tersebut. Dengan blokade, masyarakat setempat menjadi frustasi. Kemudian sekitar 1,5 juta penduduk Gaza itu memberontak, dan ramai-ramai menghancurkan Hamas.
Tapi, menurut ahli keamanan dari Universitas Tel Aviv, Brigadir Jenderal, Meir Elran, tujuan tersebut tidak akan tercapai. Bahkan dalam tiga tahun ke depan, blokade ini tidak akan menghasilkan kondisi yang diharapkan Israel.
Koordinator bantuan kemanusiaan PBB untuk Palestina, Philippe Lazzarini, mengingatkan Israel untuk membuka blokade bagi produk-produk pertanian dan aktivitas nelayan. Dia mengharapkan agar nelayan Gaza diberi kebebasan untuk menebar jaring di perairan yang bebas polusi. "Sekarang wilayah ini masih 'mengimpor' ikan dari Israel, dan memasukannya lewat perbatasan Mesir-Gaza," ujar dia.
Kemudian di akhir artikel ini terungkap bahwa Israel sudah berupaya untuk melonggarkan blokade. Koran Amerika ini juga kemudian melukiskan betapa Israel membuka pintu bagi masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Mengutip data Israel, artikel ini menulis bahwa sepanjang Mei, Israel mengizinkan masuk 637 truk ke Gaza yang membawa 14 ribu ton makanan, obat-obatan, dan bantuan lain.
Namun kondisi sebenarnya kesulitan luar biasa masih terus dialami warga Gaza. "Dulu kami bisa mendapatkan 100 dolar AS (sekitar Rp 900 ribu) per hari, dan bisa berlibur ke Mesir setiap dua bulan," kata Shaban, seorang warga Gaza yang beruntung mendapatkan pekerjaan. Kini, kata dia, warga Gaza yang beruntung bisa kerja, harus menghabiskan waktu 10 jam untuk mendapatkan 5 dolar AS (sekitar Rp 45 ribu).