REPUBLIKA.CO.ID, TORONTO--Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa para pemimpin negara-negara anggota G-20 mengalami kesulitan membangun konsensus. "Kita tak boleh hitam putih karena masing-masing ada variannya," katanya saat briefing kepada anggota delegasi, Sabtu (26/6) sore waktu setempat atau Ahad (27/6) dinihari waktu Indonesia.
Saat ini Presiden berada di Toronto, Kanada, untuk mengikuti KTT G-20 yang akan dimulai Ahad waktu setempat. Menurut SBY, setelah dirinya mengamati pemberitaan dari tujuh media internasional, saat ini ada dua pendapat soal agenda G-20 yang mendesak. Pertama, negara-negara Eropa menghendaki untuk melakukan pemangkasan defisit. Kedua, Amerika Serikat yang tetap ingin melanjutkan pemberian stimulus fiskal hingga pemulihan krisis tuntas.
Dengan tidak hitam-putih di antara keduanya, kata SBY, maka tiap negara bisa menjalankan semua pilihan itu dengan varian masing-masing. "Semangatnya adalah membangun titik temu. Yang penting tetap mengarah pada tujuan G-20," ujarnya. Pada KTT yang keempat ini, kata SBY, Indonesia menjadi juru bicara untuk masalah perdagangan dan investasi.
Seperti diketahui, G-20 adalah forum internasional kerja sama ekonomi tentang isu-isu yang membentuk ekonomi global. Anggota-anggota G-20 mencakup 90 persen global output, 80 persen perdagangan dunia, dan 2/3 populasi penduduk dunia. Tujuan G-20 adalah untuk mencapai stabilitas, pertumbuhan, dan kesejahteraan bersama. Anggota G-20 adalah Argentina, Australia, Brasil, Cina, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa.
Hal-hal prinsip yang telah dilakukan G-20 adalah, pertama, mengeluarkan dana untuk menstimulasi pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja, seperti di sektor infrastruktur. Kedua, menguatkan regulasi untuk menjamin lembaga keuangan tetap bertahan dan cukup likuditas/modal. Ketiga, menjamin kecukupan likuiditas di pasar uang penting terkait dengan kebijakan moneter. Keempat, mengurangi hambatan perdagangan dan melawan proteksionisme. Kelima, menyediakan dukungan untuk lembaga keuangan internasional.