REPUBLIKA.CO.ID, KABUL--Para pejuang Taliban di Afghanistan menegaskan bahwa sikap mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka tak akan melakukan diskusi apa pun dengan pasukan NATO. Pernyataan itu keluar, Kamis (1/7) setelah para komandan AS dan kepala staf angkatan darat Inggris, Jenderal David Richards, menyarankan akan berguna bila melakukan perundingan dengan Taliban.
Ungkapan Taliban tersebut dianggap tanpa kompromi dan dinilai tak menghormati keberadaan lawan. Mereka dinilai sejumlah media barat terlalu meyakini sebagai pemenang perang dan tidak melihat alasan mengapa harus membantu NATO dengan melakukan perbincangan.
Taliban telah mengasumsikan bahwa Amerika dalam kondisi tak terorganisir baik dan kehilangan disiplin setelah pencopotan Jenderal Stanley McChyrtal pekan lalu. Mereka menilai ajakan memasuki tahap negosiasi dengan NATO adalah sikap penunjukkan kelemahan diri sendiri dari pasukan koalisi tersebut.
Juni ini, Taliban menyatakan telah menyaksikan jumlah kematian tentara NATO tertinggi di Afghanistan,: 102 orang. Itu berarti, rata-rata ada tiga tentara tewas setiap hari.
Perbedan
Kini, sangat luar biasa sulit bagi orang asing terutama Barat untuk bertemu pemimpin Taliban secara langsung, baik itu di Afghanistan maupun d Pakistan. Namun, sejumlah upaya intermediasi wartawan berhasil menemui Zabiullah Mujahedd, jurubicara ternama dari gerilyawan Taliban yang memberi pernyataan keras.
"Kami memastikan adalah pemenang. Mengapa kami harus berbicara bila tangan kami di atas dan ketika pasukan asing mempertimbangkan mundur dan bila ada perbedakan pangkat dalam musuh kami?"
Oleh pihak asing, pernyataan itu dianggap propaganda, mengingat memang banyak warga Afghan yang sebenarnya benci dan takut terhadap Taliban, namun menyetujui pandangan tersebut.
Taliban bisa dibilang jauh dari populer di bagian wilayah negara itu. Kenangan buruk bentuk pemerintahan yang brutal dan ekstrim sejak 1996 hingga 2001 masih menghantui warga.
Tantangan Petraeus
Pekerjaan sulit kini dihadapan Jendral Petraeus, yang mengambil alih pusat komando pasukan NATO di Afghanistan. Ia diharapkan mampu mengubah presepsi AS kalah perang.
Ketika ia memimpin pasukan koalisi di Irak, ia berhasil mengubah pandangan luas bahwa perang tersebut tak bisa dimenangkan. Ia menjadikan kondisi mental pasukan anjlok naik kembali hingga mampu menyerang Baghdad dan menangkap Sadam Hussein.
Para kritikus tetap menuding, jumlah kematian akibat tindakan terorisme di Irak masih terbilang tinggi. Hingga kini pemerintahan baru Irak yang rapuh tengah berjuang menghadapi kondisi itu.
Namun, sejak hampir semua kantor media AS meninggalkan Baghdad, hanya sedikit berita tentang apa yang terjadi di negeri seribu satu malam itu sampai ke telinga publik Abang Sam.
Jendral Petraus tak diragukan akan mengulang "kesuksesan" di Irak atau bahkan mengulang taktik serupa di Afghanistan, mengajak musuh untuk berunding, seperti yang ia pernah lakukan kepada gerilyawan di Irak.
Tujuan utamanya ialah membalik opini yang tumbuh di Afghanistan bahwa Amerika, Inggris dan sekutunya akan ditarik mundur segera dan meninggalkan negara itu untuk bertempur sendiri dalam peperangannya. Bila itu terjadi, Taliban dipastikan menang dan perang ini bisa dibilang pertempuran terkeras dalam karir militernya.