REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA--Seorang politisi Kuba penentang kebijakan pemerintah yang kini menjalani aksi mogok makan diambang sekarat, demikian menurut keterangan dokter yang merawatnya. Guillermo Farinas, 48 tahun, telah menolak makan sejak Februari demi menuntut pembebasan tahanan politik yang sakit.
Sejak saat itu ia diberi asupan makanan lewat pembulu vena di rumah sakit. Namun, para dokter yang menangani mengatakan ia mengalami gangguan darah yang dapat membunuhnya.
Kabar itu dilaporkan oleh media negara Kuba, yang biasanya mengabaikan protes para oposan pemerintah. Surat kabar resmi partai komunis, Granma, menulis wawancara dengan dokter utama perawatan Farinas, Armando Caballero.
Menurut sang dokter, Farinas sebenarnya mengalami penambahan bobot badan sejak pemberian asupan lewat infus sejak ia masuk rumah sakit pada 11 Maret, setelah ambruk di rumahnya di Santa Clara. "Namun gumpalan pembuluh dara yang terbentuk di lehernya dapat mengganggu aliran darah ke jantungnnya," kata Caballero.
"Kini pasien memiliki risiko kematian besar, karena sangat bergantung pada penggumpalan tersebut," ujar Cabarello, 3 Juli.
Siap Mati
Farinas adalah seorang ahli psikologi yang bekerja pula sebagai jurnalis lepas yang meliput di Kuba. Ia fokus pada kontrol dan manipulasi serta pembelokan opini oleh media negara.
Ia mulai mogok makan dan minum sejak 28 Februari lalu setelah oposan pemerintah lain, Orlando Zapata Tamayo, meningga juga akibat aksi mogok makan yang ia lakukan dalam penjara. Farinas menuntut pelepasan 26 tahanan politik yang sakit dalam tahanan.
"Ia memilih mati ketimbang menyerah dengan tuntutan dan aksinya" ujar ibu Farinas, Alicia Hernandez. "Tujuan mendasar aksinya sangat jelas, membebaskan tahanan yang sebagian besar sakit, bila tidak ia akan menghadapi konsekuensi terburuk dari aksinya."
Pemerintah Kuba sebelumnya telah menyatakan tidak akan mau "diperas" oleh tuntutan Farinas. Pemerintah juga mengatakan bila ia mati maka sepenuhnya merupakan kesalahannya sendiri.
Kuba menyangkal bahwa ada tahanan politik yang dikurung di pulau dan menegaskan bahwa mereka yang ditahan adalah para kriminal dan orang-orang bayaran AS. Namun pemerintah, baru-baru ini membuat pengakuan kecil setelah berbicara dengan Gereja Katholik dan memindahkan sejumlah tahanan ke penjara ke dekat rumah-rumah mereka di kawasan pelindung hak asasi.
Menurut komisi hak asasi tak resmi Kuba, ada sekitar 180 tahanan politik yang berada di balik jeruji.