REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -– Setelah sembilan tahun perang belum juga membuahkan kemenangan bagi Amerika Serikat, kini kondisi perang Afghanistan menghadapi tahap kritis. Kendati waktu penarikan pasukan seperti yang dijanjikan AS semakin dekat, kemajuan di daerah itu belum memenuhi ekspektasi.
Jenderal David Petraeus, panglima tertinggi misi di Afghanistan mengatakan pada Ahad (4/7) bahwa pertempuran yang dihadapi lebih sulit dari yang diperkirakan. Ia akan memimpin 150 ribu pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Afghanistan. Sementara saat ini jumlah pasukan berjumlah sekitar 130 ribu personel.
"Setelah bertahun-tahun perang kita telah tiba pada saat yang kritis," kata Petraeussaat seremoni serah terima kekuasaan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) yang berkantor pusat di Kabul.
Pekan lalu Petraeus ditunjuk untuk memimpin seluruh pasukan asing di Afganistan setelah pendahulunya, Jenderal Stanley McChrystal dipecat karena komentar menghina terhadap petinggi pemerintah AS dalam wawancara denga majalah Rolling Stone.
Pergantian pucuk komando ini terjadi pada saat Taliban berada di posisi terkuat mereka sejak digulingkan tahun 2001 dan korban di pihak ISAF meningkat setiap hari.
Petraeus berbicara disamping kolom marmer yang berisi deretan nama prajurit asing yang tewas di Afghanistan sejak 2001. Ia mensinyalkan pergantian kepemimpinan ini hanya menandai perubahan di posisi pemberi komando bukan strategi.
Ia mendarat di Kabul akhir pekan lalu setelah pengangkatannya itu disetujui Senat dan DPR menyetujui pendanaan 33 miliar dolar untuk penambahan pasukan. Penambahan pasukan, menurut dia, tidak hanya untuk memerangi Taliban namun juga memperkuat kapasitas pemerintahan yang dipimpin Hamid Karzai.
Komandan Terakhir
Washington berharap penunjukan komandan baru ini akan menjadi yang terakhir kali dan mereka segera mengakhiri konflik yang semakin mahal yang menguras anggaran anggota NATO khususnya AS. Apalagi AS dan Barat pada umumnya masih berkubang dalam resesi global terburuk dalam sejarah.
Dengan demikian ia bertanggung jawab tidak hanya untuk memenangkan perang melawan Taliban tetapi juga dengan memulai penarikan pasukan AS pada Juli tahun depan.
"Kita harus menunjukkan kepada orang-orang Afghanistan dan kepada dunia bahwa al Qaidah dan jaringan mereka tidak akan diizinkan untuk sekali lagi berkuasa di Afghanistan," katanya.
Selama upacara di markas NATO, Petraeus menerima dua bendera, satu bendera AS dan yang lainnya bendera NATO, menandai peralihan kepemimpinan. "Kita berada di sini untuk menang," kata Petraeus. Ia pun tak terlewat berterimakasih pada pendahulunya, Jenderal Stanley McChrystal. Dia mengatakan kemajuan yang dicapai mencerminkan visi energi dan kepemimpinan McChrystal.
Ia juga akan meninjau aturan-aturan di mana tentara NATO bertempur, termasuk pembatasan penggunaan kekuatan udara dan senjata berat jika warga sipil berisiko terkena.
Pasukan NATO mengeluhkan hal itu sama saja menempatkan kehidupan mereka sendiri pada risiko dan medan perang menjadi sangat menguntungkan bagi Taliban dan sekutu mereka.
Berbicara sebelum Petraeus, Jenderal Egon Ramms, komandan tentara Jerman juga memuji McChrystal mengatakan jenderal ulung ini selalu tangguh pada masa sulit.
Ramms menyatakan berduka atas kematian warga sipil akibat operasi militer oleh pasukan koalisi, namun lanjut dia jangan dilupakan warga Afghanistan yang tewas di tangan Taliban yang sewenang-wenang.
June was the deadliest month for the allied force since the war began in October 2001 with 102 deaths, more than half of them Americans.
Juni adalah bulan paling mematikan bagi pasukan sekutu sejak perang dimulai pada Oktober 2001 dengan 102 kematian, lebih dari separuh korban tewas adalah tentara Amerika. Sejak sembilan tahun lalu korban tewas dari pihak tentara asing sekitar 1.300 orang. Sementara dari pihak Taliban dan warga sipil Afghanistan tidak tercatat angka yang resmi.
Di negara-negara para anggota NATO dan negara yang mengirim pasukan ke Afghanistan pun semakin melemah. Membengkaknya biaya serta korban yang terus jatuh membuat masyarakat sipil di Barat semakin mempertanyakan kepentingan mereka terlibat dalam perang ini.