REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD--Wakil Presiden AS, Joe Biden mengakhiri kunjungannya ke Irak pada Senin (6/7) tanpa memberikan solusi pada para pemimpin Irak untuk membentuk pemerintahan dalam waktu empat bulan setelah pemilu. Hal tersebut menyebabkan kekecewaan di antara orang-orang yang berharap kunjungannya akan membant mengakhiri kebuntuan pasca pemilu.
Tidak ada pihak pemenang pada Pemilu 7 Maret 2010 lalu, suasana politik yang tidak kondusif terus terjadi. Beberapa politisi Sunni di Irak telah menuduh Amerika Serikat tidak melakukan sesuatu untuk mendukung hak lintas-sektarian blok Iraqiya Allawi untuk membentuk pemerintah.
Mereka juga mencurigai Iran akan dipimpin oleh golongan Syiah yang akan terus mengganggu kaum minoritas Sunni yang mendominasi Irak sebelum jatuhnya diktator Saddam Hussein.
"Tidak ada dukungan yang jelas untuk Irak dan tidak ada yang menguntungkan salah satu pihak atas yang lain, Mereka ada di tengah-tengah," ucap Osama al-Nujaifi, seorang pemimpin senior Sunni di Irak.
Menurut Osama, Biden hanya berbicara mengenai hak-hak tentang pemilu dan menghormati hasil pemilu. Namun, hal tersebut sangat jauh dari isu-isu sensitif yang sangat penting.
Biden ditunjuk oleh Presiden AS, Barack Obama untuk memimpin perundingan dengan agenda membahas isu-isu tentang Irak. Biden sendiri bertemu dengan Perdana Menteri Irak, Nuri Al-Maliki dan mantan Perdana Menteri Iyad Allawi pada Ahad (4/7).
Pada hari Senin (5/7) Biden bertemu dengan Presiden Irak Jalal Talabani, seorang Kurdi, dan Ammar al-Hakim, Kepala Majelis Tinggi Islam Iran yang didukung Dewan Irak (ISCI). Biden sendiri menolak untuk berbicara kepada media pada akhir kunjungannya.