Rabu 07 Jul 2010 23:43 WIB

Ini Lebih Buruk daripada Guantanamo!

Illustrasi
Foto: GEP.DE
Illustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BRATISLAVA--Tahanan Guantanamo akan ditutup. Lalu ke manakah ratusan penghuninya kini berada? Menurut sejumlah laporan media luar negeri, mereka dipindahkan wilayah Eropa untuk mendapat suaka.

Proses integrasi pun dinyatakan dijamin pemerintah setempat. Namun tak semua beruntung, terutama mereka yang dipindah ke bekas-bekas kamp konsentrasi era perang dingin milik blok komunis pimpinan Sovyet di Eropa timur, salah satunya di Bratislava, Slovakia.

Kondisi yang mereka alami di kamp-kamp konsentrasi tersebut jauh lebih buruk ketimbang di Guantanamo. Seorang bekas tahanan di Guantanamo (Gitmo) yang kini tinggal di pusat tahanan pengungsi Slovakia menyatakan siap mati kelaparan dalam aksi mogok makan setelah hidup lima bulan hidup dalam situasi jauh lebih mengenaskan daripada penjara tersohor di Kuba itu.

Adil Al-Gazzar, adalah satu tahanan yang dulu dikurung di Gitmo yan kini melancarkan aksi mogok makan di fasilitas tersebut, di Medvedov, Slovakia barat. "Saya sangat lemah, sakit dan kian memburuk. Namun saya tidak akan menyerah hingga mendapat penuntasan masalah saya. Saya akan terus tak makan hingga mati, jika memang diperlukan," tuturnya akhir pekan lalu.  Ia telah menjalani aksinya selama sepuluh hari.

Al-Gazzar asal Mesir, Poolad Tsiradz dari Azerbaijan dan Rafik Al-Hami asli Tunisia tiba di Slovakia pada Januari setelah pemerintah negara itu setuju untuk mengambil tahanan tersebut dibawah kesepakatan EU-AS dalam upaya Presiden Obama untuk menutup penjara kontroversial di Kuba tersebut.

Ketiga pria itu kini disekap di sana. Mereka selama ini membantah sebagai teroris dan menyatakan diri sebagai korban salah tangkap.

Al Gazar, mantan tentara Mesir yang kehilangan kaki dalam serangan pasukan AS di Afghanistan pada November 2001, ketika ia menjadi relawan palang merah negara itu, menyatakan sejak tiba, ketiga orang termasuk dirinya tak diberi hak-hak dasar dalam skala yang lebih buruh dari yang mereka alami di Gitmo.

"Saya katakan itu blak-blakan tanpa keengganan. Di Gitmo kita masih dibolehkan keluar ruangan selama 20 jam sehari. Di sini saya hanya boleh melihat matahari selama satu jam" tuturnya. "Saya tidak tahu mengapa."

Di Gitmo Al Gazaar masih diizinkan untuk beribadah bersama Muslim lain dalam masjid penjara namun, itu tak dibolehkan di Medvedov. "Mereka jawab untuk alasan keamanan. Mengapa? Saya tidak tahu."

"Tidak ada satu pun pihak berwenang di Slovakia berbicara pada kami. Ketika kami mempertanyakan mereka tetap memberi jawaban sama bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk berbicara dengan kami,"

Pengungsi lain yang ditahan di fasilitas tersebut juga diperintahkan untuk tidak berbicara dengan tiga pria tersebut. Tak hanya itu, mereka juga mengeluhkan tindakan isolasi dan kunjungan hanya diperbolehkan dari pengacara.

Tiga pria itu juga mengklaim tak mendapat info tentang berapa lama mereka akan tinggal dalam tahanan ketika tiba di Slovakia. Al Gazzar, kepada media lokal menuturkan bahwa ia tak pernah diberi tahu akan ditahan di penjara melainkan mereka akan dibebaskan dengan sejumlah batasan.

Ketika tiba di Slovakia, ia berkata, ia diberitahu harus tinggal selama enam bulan dalam fasilitas suaka. Kini mereka diberitahu akan menghadapi enam bulan lagi masa tahanan di fasilitas berbeda.

Dalam kasus pemindahan tahanan Gitmo yang direlokasi ke negara lain di Eropa, mereka, menurut para aktivis yang mengikuti nasib tahanan sebelumnya, diberi rumah dalam beberapa minggu dan dapat hidup bebas serta mendapat bantuan untuk berintegrasi ke masyarakat.

Di negara lain, Kata Al Gazzar, orang-orang bekas tahanan Gitmo seperti kami bisa berbelanja, memiliki rumah dan koneksi internet. Di sini internet tidak dibolehkan. Mengapa tidak? Mereka tidak pernah memberi tahu."

Sejumlah organisasi HAM telah mengecam pemerintah yang tidak memberi mereka status legal, meski mereka telah tinggal di negara itu selama lima bulan. Mereka juga mempertanyakan penahanan tiga pria itu di fasilitas penjara mengingat ketika tiba, Menteri Luar Negri menyatakan tiga orang itu bukanlah kriminal.

Kepala Amnesti Internasional, Branislav Tichy, berkomentar, "Mereka bilang mereka tak pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya dan tak bisa dibandingkan dengan sebelumnya. Proses normal untuk permohonan suaka adalah tiga bulan. Namun pejabat mengatakan mereka tidak berada dalam prosedur suaka sehingga status mereka tak jelas."

Karena itulah ia dan tiga pria tersebut berupaya keras menyelesaikan masalah tersebut. Ia menyatakan Amnesti telah mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan masalah itu di hari pertama mereka tiba.

Beberapa pengamat juga mempertanyakan perlakuan yang diterima tiga orang tersebut dan apakah pemerintah Slovakia benar-benar memperhatikan mereka seperti seharusnya. Kantor Imigrasi Menteri Dalam Negeri Slovakia, yang bertanggung jawab atas keberadaan tiga pria tersebut membantah klaim tahanan dn mengatakan mereka hanya menderita stres pascatrauma.

Kepala kantor imigrasi, Bernard Priecel, kepada media lokal mengatakan tiga pria itu "menikmati standar tinggi dalam lingkup keamanan dan proses re-integrasi serta juga menerima perawatan delapan jam sehari, termasuk perawatan psikologis dan pelajaran dalam bahasa Slovakia. Menanggapi aksi mogok makan, Menteri Dalam Negeri menyatakan ketiga pria itu mungkin telah dipindahkan ke asrama.

Semantara itu, Al Gazzar tetap bergeming dan mengatakan hingga seseorang dari pemerintah Slovakia berbicara kepadanya dan menyelesaikan masalah status dan kebebasanya di Slovakia, ia akan terus menolak makan dan minum. "Semua yang saya inginkan adalah kebebasan dan status hidup yang jelas," tegasnya.

 

sumber : IPSNews
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement