Wartawan Republika, EH Ismail, menyertai tim Dompet Dhuafa Republika memasuki Gaza dari Mesir. Berikut ini catatan perjalanannya di hari kelima upaya mereka menembus ketatnya barikade menuju wilayah terisolasi di Palestina itu:
RAFAH--Lima hari sudah saya dan tim relawan dari Dompet Dhuafa Republika berada di Kairo, Mesir. Tiba pada Senin (5/7) pagi di Bandara Internasional Kairo seakan menjadi langkah pertama kami menuju Jalur Gaza, wilayah Palestina yang tengah diblokade Israel.
Hanya satu misi kami, masuk ke Jalur Gaza dan melakukan kegiatan kemanusiaan di sana. Sebagai wartawan, tentu saya harus melaksanakan amanah dan misi melakukan peliputan di sana. Namun apa hendak dikata, persepsi kami bisa segera masuk ke Jalur Gaza lantaran Mesir sudah mendeklarasikan pembukaan pintu perbatasan di Rafah, tak semudah yang dibayangkan.
Untuk bisa masuk ke Jalur Gaza, semua orang harus memiliki izin resmi dari State Security Mesir, otoritas keamanan di Rafah.
Kendati sudah langsung mengajukan permohonan izin masuk pada hari pertama kami tiba di Kairo, tapi izin tersebut tak kunjung keluar sampe Jumat (9/7) malam.
Tak ingin terus menunggu tanpa kepastian, saya dan tim Dompet Dhuafa pun memutuskan untuk berangkat ke Rafah tanpa izin resmi dari State Security. Hanya surat keterangan dari KBRI di Kairo yang menjadi andalan kami agar sampai ke Rafah.
Tepat pukul 10.00 waktu Kairo (pukul 14.00 WIB), kami pun bertolak ke Rafah menggunakan mobil sewaan. Kecuali saya dan tiga tim dari Dompet Dhuafa Republika, turut serta bersama kami dua orang penerjemah dan seorang pengemudi mobil yang juga mahir berbahasa Arab. Ketiga orang ini merupakan mahasiswa Indonesia asal Mesir yang berkuliah di Universitas Al Azhar, Kairo.
Ketiga orang itu adalah Abdul Hadi, Muhammad Fariz Afif, dan Amran Hamdani (pengemudi).
Adapun tiga orang tim Dompet Dhuafa Republika selain saya adalah Bambang Suherman, Herman Budianto, dan Muhammad Fani Rahman (Sahabat Al-Aqsha). Setelah mengisi penuh tangki bensin dan membeli minum-minuman serta buah-buahan, kami pun melaju menuju tol Ismailiya.
Satu setengah jam berada di jalan bebas hambatan, rintangan pertama kami pun dimulai. Antrean kendaraan selepas gerbang tol memicu kegaduhan di dalam mobil. Tentu bukan antrean kendaraan yang membuat jantung saya berdebar (dan saya yakin rekan-rekan di dalam mobil juga berdebar jantungnya), melainkan sekumpulan polisi yang menghentikan semua kendaraan dari gerbang tol. Tak mungkin ada kendaraan yang lepas dari pemeriksaan karena jalur keluar gerbang tol dibuat hanya satu lajur.
Mas Bambang, begitu saya memanggil Bambang Suherman, segera memberi komando agar tenang dan bersikap biasa layaknya orang dalam perjalanan wisata. Fani yang duduk di belakang berpura-pura tertidur seakan tak tahu ada pemeriksaan. Abdul Hadi yang duduk di samping Amran mendorong tas bawaannya ke bawah dashboard. Fariz yang duduk di sebelah Fani bersandar pada tas-tas bawaan yang menumpuk di pojok belakang mobil.
Abdul Hadi segera mengingatkan agar seluruh kamera dan handy cam dimasukkan ke dalam tas.
"Polisi sini tak senang jika diambil gambarnya," kata Hadi mengingatkan. Saya yang sangat ingin mengabadikan proses pemeriksaan, semula bersikeras memegang kamera dan handy cam. Namun Mas Bambang mengingatkan agar keinginan saya dipendam demi kelancaran perjalanan. "Yang penting kita bisa lancar dulu ke Rafah, dokumentasi di pikiran saja," ujarnya.
Tibalah kendaraan kami berhenti di depan para petugas. Kaca samping kiri pengemudi pun dibuka oleh Amran. Amran dan Hadi dengan sigap melambaikan tangan kepada petugas dan bersikap seolah sedang melakukan perjalanan biasa. Petugas pun mempersilahkan kendaraan kami melintas tanpa memeriksa satu pun dokumen!
Walaupun demikian, ketegangan masih saya rasakan. Semua penumpang terdiam. Barulah sekitar 100 meter dari pos pemeriksaan kami semua melepas nafas lega. Tanpa ada yang mengkomando, kami pun bergantian mengucap hamdalah. "Alhamdulillah."
Hadi yang sudah berpengalaman melewati pos pemeriksaan ini segera bertutur, "Kita beruntung tak diperiksa."
Hadi pun menceritakan tatkala dirinya menemani anggota DPR dari Fraksi PKS, Yoyoh Yusroh, beberapa waktu lalu. Di pos pemeriksaan itulah dia dan Yoyoh Yusroh dihalau petugas keamanan untuk kembali ke Kairo lantaran tak memiliki surat izin ke Rafah. “Sampai dua kali mencoba, tetap digiring lagi kembali ke Kairo,” kata Hadi.
Kami pun kembali mengucap syukur, “Alhamdulillah.”
Perjalanan terus kami lanjutkan dengan menempuh jalur lurus yang diapit padang pasir nan luas. Pendingin kendaraan hampir tak terasa karena panasnya suhu di luar kendaraan. Buah dan air mineral yang kami beli sebelum berangkat menjadi sasaran pelepas dahaga dan panas. Suhu di luar berkisar antara 42 sampai 43 serajat Celcius.
Hampir satu jam berada di tengah jalan terapit gurun pasir, kami sampai di Jembatan Perdamaian (Mubark Peace Bridge) yang dibangun atas kerja sama pemerintah Mesir dan Jepang. Di sebelah kanan kendaraan, kami melihat muara Terusan Suez dengan dua buah kapal besar sedang bersandar.
Menjelang jalan putaran naik ke atas jembatan, kami harus berhadapan lagi dengan pos pemeriksaan kedua menuju Rafah. Kali ini jumlah petugas lebih banyak dibandingkan pos pemeriksaan pertama. Layaknya gerbang pintu tol dengan palang besi di depannya, para petugas menghentikan setiap kendaraan yang melintas. Pemeriksaan awal berupa pemeriksaan SIM dan STNK.
Amran segera menyiapkan surat-surat kendaraan dan SIM-nya. Setelah memeriksa surat-surat Amran, petugas kemudian menanyakan tujuan dan identitas asal kami. Semula Hadi mengatakan jika kami semua adalah mahasiswa Al Azhar asal Indonesia yang ingin berwisata ke pantai di kawasan El Arisy, sebuah kota berjarak 40 kilometer dari Rafah. El Arisy ini kota yang berbatasan langsung dengan Rafah.
Penjelasan Hadi hampir membuat petugas terkecoh. Sayang, saat petugas bertanya apakah kami berbahasa Arab, Mas Bambang dengan percaya diri menjawab dengan kata, “Na’am.”
Secara arti, tidak ada yang salah dengan jawaban na’am Mas Bambang. Artinya iya. Tetapi bagi orang Mesir, menjawab iya dengan kata na’am adalah tak lazim. Mereka biasa menggunakan kata aiwa untuk mengutarakan kalimat persetujuan atau afirmatif.
Kata na’am inilah yang kemudian membuat petugas memutuskan untuk memeriksa semua dokumen kami. Petugas meminta kami menunjukkan paspor masing-masing. Sekali lagi, untuk mencoba mengelabui petugas, kami mengajukan paspor milik Amran, Hadi, dan Fariz agar petugas percaya bahwa kami adalah mahasiswa Al Azhar. Tapi nampaknya petugas sudah terlanjur curiga. Semua paspor kami diperiksa satu per satu. Paspor milik saya paling lama diperiksa petugas. Entah lantaran potongan rambut saya yang tidak umum (saya berambut panjang melebihi umumnya rambut laki-laki) atau karena cover paspor saya yang paling berbeda dengan rekan-rekan lain.
Tapi setelah berdialog dan meyakinkan bahwa kami benar-benar hanya ingin berkunjung ke El Arisy, petugas pun mempersilahkan kami pergi. Kami terbebas dari pemeriksaan barang-barang yang diletakkan di bagasi mobil.
Seorang petugas menghampiri kami dan mencoba memecah ketegangan dengan bergurau kepada Hadi dan Amran. “Kalian mahasiswa Indonesia, kami senang kalian kuliah di Al Azhar. Tapi tolong itu nanti kamera jangan digunakan untuk mengambil gambar dari atas jembatan ya,” kata petugas bernama Hani sambil menunjuk kamera di pangkuan Hadi.
Rupanya, Hadi yang dari awal mengingatkan agar kami tak mengeluarkan kamera dan handy cam, malah lupa memasukkan kameranya sendiri setelah asyik mengambil foto di gurun pasir antara pos pertama dan pos kedua.
Setelah melihat Hadi memasukkan kameranya dan berjanji tidak akan mengambil gambar dari atas jemabatan, petugas pun mempersilahkan kami pergi.
Pos kedua itulah yang menjadi pos paling mendebarkan bagi kami. Pemeriksaan semua dokumen yang kami bawa menjadi hal yang sungguh mengundang kekhawatiran. Ketakutan digiring kembali pulang ke Kairo menjadi kekhawatiran saya secara pribadi. Alasannya tak lain karena saya bakal kehilangan kesempatan melihat perbatasan di Rafah dan bisa meliput ke dalam Jalur Gaza.
Pada pos-pos pemeriksaan berikutnya cenderung mudah bagi kami. Empat puluh menit setelah pos kedua, kami tiba di pos ketiga di daerah El Qantharah El Sharqiyyah (Jembatan Timur) pada pukul 13.07. Berturut-turut pos berikutnya adalah Al Kheerba Village pada pukul 14.50, Madinah Bi’rul Abd pada pukul 15.00, dan terakhir pos Maidan kami lintas pukul 15.34.
Di empat pos terakhir, tidak ada lagi pemeriksaan dokumen. Dengan gaya seperti pada pos pertama, kami hanya melambaikan tangan pada petugas jaga di pos pemeriksaan selayaknya orang yang tengah pergi berwisata.
Sekitar pukul 17.00, kami tiba di kota El Arisy dan memutuskan untuk menginap di Hotel Sinai Stars. “Kita istirahat dulu dan besok pagi mencoba ke Rafah. Sampai ke El Arisy sini sudah kemajuan yang sangat penting bagi misi kita,” ujar Bambang. Kami kini tinggal 40 kilometer dari perbatasan Mesir-Palestina di Rafah. Semoga saja besok pagi tak ada kendala agar kami bisa melintas masuk ke Jalur Gaza.