REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO--Pemimpin Liga Arab menyatakan Palestina tidak maju ke pembicaraan damai secara langsung dengan Israel kecuali ada 'jaminan tertulis' yang diterima tangan. Sekretaris jendral, organisasi pan-Arab berjumlah 22 negara, Amr Mussa, berbicara di Kairo mewakili Husni Mubarak, mengatakan presiden Mesir mengadakan pertemuan yang bertujuan mencari nafas baru dalam proses perdamaian yang tengah macet.
Mubarak, akhir pekan lalu, menghabiskan waktu berbincang dengan presiden Palestina, Mahmoud Abbas dan perdana menteri Israel, Benyamin Netanyahu serta delegasi khusus AS dalam perdamaian Timur Tengah, George Mitchell.
Israel dan AS tengah berharap dapat membujuk Liga Arab untuk mendukung kembalinya Palestina ke meja perundingan tanpa syarat di awal, namun setelah pertemuan dengan George Mitchell, Mussa menolak ide tersebut. "Kita tak dapat ototmatis maju ke tahap negosiasi lebih lanjut tanpa jaminan itu," ujarnya.
Menteri Luar Negeri Mesri, Ahmed Aboul Gheit, mengatakan setelah pertemuan tersebut tidak ada terobosan baru yang dicapai. "Kami masih berharap celah ini dapat dijembatani. Celah berupa kebutuhan keamanaan bagi Israel sekaligus perbatasan yang terbuka bagi Palestina," ujarnya.
Menurut laporan yang ditulis Al Jazira, Senin (19/7), Palestina cenderung menolak bernegosiasi lagi tanpa jaminan spesifik atas masalah penting, seperti pembukaan perbatasan, penyelesaian masalah perumahan dan bantuan keamanan.
Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Jordan, Al Ghad, akhir pekan lalu, Abbas menyebut sejumlah persyaratan untuk negosiasi tahap lanjut dengan Israel. Ia mengatakan akan meneruskan perundingan langsung jika Israel setuju dengan ketetapan perbatasan Timur Tengah sebelum perang 1967 sebagai dasar wilayah negara Palestina. Ia juga meminta bantuan pasukan perdamaian Internasional di kawasan perbatasan untuk melindungai negara Palestina.
"Jika mereka setuju terhadap jaminan itu, kita akan mempertimbangkannya sebagai kemajuan dan akan melangkah ke perundingan secara langsung," ujar Abbas, terhadap harian tersebut. Abbas tidak menyebut permintaan untuk membekukan aktivitas konstruksi pemukiman Israel yang lama telah menjadi prasyarat dalam perundingan langsung. Penghentian sementara pembangunan pemukiman Yahudi selama 10 bulan di Tepi Barat oleh Netanyahu, akan berakhir pada September tahun ini.
Rencana Pemutusan Gaza
Menjadi sorotan dalam pertemuan antara Netanyahu dan Mubarak adalah proposal yang dijukan menteri luar negeri Israel, Avigdor Lieberman, yakni memotong semua hubungan dengan Gaza. Lieberman membocorkan proposal itu kepada harian Israel, Yedioth Ahronoth, menyeru "pemutusan kedua" dari Jalur Gaza.
Inti proposal, Israel akan menyegel perbatasan darat dengan Gaza dan mengangkat semua blokade laut di teritori itu. Sementara negara-negara Eropa akan diminta menjadi pemimpin dalam upaya rekonstruksi kembali ekonomi Gaza yang terpuruk selama bertahun-tahun akibat perang dan blokade.
Rencana itu tidak populer di pemerintahan Mesir karena bila diterapkan, Kairo akan memiliki tanggung jawab lebih besar kepada Gaza. Netanyahu buru-buru memosisikan diri berjarak dari proposal tersebut.
Ia mengatakan usul itu tak mendapat persetujuannya. "Kebijakan atas masalah ini ditentukan oleh perdana menteri dan seluruh kabinet, begitulah yang selalu terjadi dan akan tetap seperti itu," ujar seorang jurubicara kantor perdana menteri seperti yang dikutip Haaretz.