REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Menjelang maghrib, 2 Januari 2009. Yahya Abu Syaif (21 tahun) melipatkan langkah menuju Masjid Ibrahim Al-Maqadmah. Pemuda yang tinggal bersama orang tua dan 14 saudaranya itu tak ingin tertinggal shalat berjamaah di masjid.
Kurang dari lima menit, Yahya --mahasiswa Al-Quds Open University di Gaza, Palestina, yang tinggal di Beit Lehiya, utara Gaza City-- sampai di masjid. Usai memanjatkan doa memohon keselamatan dan keberkahan hidup, Yahya dan jamaah lain menunaikan shalat sunah dua rakaat.
Yahya pun memutuskan pulang setelah itu. Belum genap 50 langkah kaki Yahya keluar masjid, sebuah bom jatuh menembus atap dan lantai pembatas masjid. Bom itu meledak dan mementalkan puluhan jamaah yang sedang mengaji dan berdoa di dalam masjid. Yahya terpental puluhan meter. Pandangannya pun gelap.
Suara takbir dan teriakan jamaah serta warga masih terngiang di telinganya, sebelum kesadaran Yahya benar-benar habis. Entah berapa hari koma di rumah sakit, yang diketahuinya sesaat setelah sadar, kaki kanan sampai pangkal paha sudah tak ada lagi. Yahya pun menangis, membayangkan cita-cita menjadi guru, buyar.
Apalagi, bagian kiri tubuhnya, mulai pundak sampai ujung kaki, tak bisa ia gerakkan. Jerit tangisnya makin keras saat teringat nasib kedua orang tua dan 14 saudaranya. "Ada yang membisikkan agar saya tak berhenti mengucap istigfar,'' Yahya menceritakan kisahnya 18 bulan silam.
Anehnya, Yahya tak mengetahui siapa yang berkata padanya. Tak seorang pun menjulurkan kepala dan berbisik di telinganya. Tak seorang pun! Bulu kuduk saya spontan berdiri. Yahya memang masih tergolek hingga kini. Hanya berbaring dan duduk di kasur dalam ruangan 3 x 4 meter di kamar yang juga dihuni sejumlah saudaranya yang hidup papa.
Sehelai tali terikat ke atap, yang digunakannya jika ingin mengubah posisi dari berbaring ke duduk. Yahya, mahasiswa yang berasa menjadi guru dan ingin membahagiakan kedua orang tua dan 14 saudaranya, kini harus berjuang melawan kecacatan tubuhnya.
Kendati tetap mengandalkan bantuan hanya sekadar untuk ke kamar mandi, tapi semangat hidupnya terus menyala. Tak ada raut putus asa di wajahnya yang bersih ceria. Saat meminta izin mengambil foto dirinya, terus terang hati kecil saya tidak tega. Tapi, Yahya tersenyum dan mempersilakan.
Agak lama saya berbincang sambil memijit kaki kirinya. “Saya ingin punya kaki lagi. Tentunya, kaki palsu agar saya bisa kembali berjalan normal dan hidup seperti
orang lain,'' imbuhnya.
"Apa yang akan kamu lakukan jika punya kaki palsu,'' tanya saya. "Tentu saja saya ingin melanjutkan kuliah. Belajar lagi dan menjadi guru,'' jawabnya. Mata Yahya sekelebat menerawang kosong.
Yahya hanyalah salah satu korban selamat dari serangan bom Israel di Masjid Ibrahim Al Maqadmah. Bom yang dimuntahkan pesawat tempur F-16 milik Israel itu mampu menghancurkan gedung hingga ke lantai dasarnya.
Sebanyak 16 orang syahid dan lusinan lainnya cedera. "Meski akhirnya yang meninggal 17 orang. Sedangkan yang terluka lebih dari 50 orang,'' kata Direktur Umum Jam'iyyah Al-Khairiyyah Assalama, Faheem Hassanain. Assalama adalah lembaga yang memfokuskan menangani korban perang Israel-Palestina di Jalur Gaza