Jumat 20 Aug 2010 01:52 WIB

Opium Jadikan Wanita dan Bayi Afghanistan Pecandu Berat

Rep: Mg1/CNN Health/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Seorang ayah menggendong anaknya dengan merokok opium.
Seorang ayah menggendong anaknya dengan merokok opium.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL, AFGHANISTAN–-Sebanyak delapan belas wanita duduk bersila di tempat tidur besi, memakai baju kurung longgar dan baju tidur, kepala mereka benar-benar tertutup rapat dengan kain. Mereka tak ingin dilihat orang lain. Beberapa dari mereka terlihat memegang bayi di pangkuan.

Semua wanita tadi adalah pecandu heroin dan opium, produk tanaman paling kaya di Afghanistan sekaligus paling mematikan. Yang mengenaskan beberapa bayi mereka juga ketagihan.

Mereka dirawat di pusat perawatan yang tersembunyi di belakang Jalan Kabul, sebuah fasilitas dikelola oleh pemerintah Afghanistan dan didanai oleh Departemen Luar Negeri AS, melalui Biro Narkotika Internasional dan Penegakan Hukum Negeri.

AS merupakan donor utama dan terbesar untuk program terapi obat di Afghanistan. Dokter yang bertanggung jawab, Dr Latifa Hamidi, memberitahu bahwa sebagian besar perempuan ini terjerat karena suami mereka merokok heroin. Menyuntikkan heroin tidak begitu umum di Afghanistan seperti kebiasaan yang ada di Barat.

Anak-anak, staf pekerja pun menjadi kecanduan ketika ibu mereka meniupkan asap heroin pada mereka untuk menenangkan mereka saat mereka menangis. "Karena semua anggota keluarga mereka ketagihan, anak mereka pun kecanduan," kata Latifa. "Malah, ketika anak-anak mereka sakit keluarga tidak memberi mereka obat, melainkan menggunakan narkotika." Imbuhnya.

Mirisnya, anak-anak yang kecanduan itu rata-rata masih berumur dua tahun. Ini kelompok termuda yang pernah kecanduan obat yang diidentifikasi di seluruh dunia, menurut Departemen Luar Negeri AS. Kondisi diperparah dengan tak adanya protokol untuk merawat anak-anak muda ini.

Salah satu orang tua yang turut menjaga anaknya yang terbaring lemah di Rumah Sakit, Zainab, 22 tahun, mengatakan bahwa dia terjerat ketika ia bersama suaminya pengungsi di Iran. "Suami saya membuat saya kecanduan," katanya. "Ketika saya merasa sakit atau menderita batuk saya akan merokok. Tidak menggunakan obat apa pun," akunya.

Terkait fenomena tersebut, Departemen Luar Negeri AS mengungkap prevalensi penggunaan narkoba di Afghanistan sebagai sesuatu yang 'mengkhawatirkan'. Tingkat prevalensi itu didasarkan data dari pengakuan kepala suku yang melaporkan bahwa setengah populasi mereka mengonsumsi opium desa.

Heroin dan opium merupakan barang murah dan tersedia di Afghanistan, sebuah negara yang memproduksi 94 persen dari opium di dunia. PBB memperkirakan ada hampir satu juta pecandu narkoba di negeri itu yang berarti lebih dari tujuh persen dari jumlah penduduk. Namun hanya ada 40 pusat pengobatan di seluruh negeri dan hanya mampu membantu kurang dari 10.000 pecandu setiap tahun.

Para 18 wanita yang mendatangi fasilitas penyembuhan akan mengikuti program 45 hari, Namun melihat kondisi mereka, dokter mempertimbangkan meningkatkan perawatan menjadi 90 hari.

Melihat fenomena demikian, konselor dan pekerja sosial masuk ke masyarakat, mempromosikan kampanye kesadaran tentang bahaya narkotika. Mereka mendorong perempuan yang kecanduan untuk memasuki program perawatan.

Beberapa pecandu melakukan terapi lewat detoks. Para dokter juga mengatakan agar mereka tidak menggunakan methadone, obat penganti candu yang digunakan dalam masa transisi. Metode itu kadang membuat kondisi pasien tambah buruk, seperti muntah-muntah.

Sedangkan anak-anak yang kecanduan dirawat di sebuah pusat perawatan anak. Sebelum para ibu dan anak-anak itu mengunjungi pusat-pusat pengobatan, tingkat kambuh mereka hampir 100 persen.

Sementara, menurut para dokter tingkat kambuh pasien yang dirawat di fasilitas  relatif rendah. Tujuan program memang untuk menurunkan tingkat kambuh hingga 50 persen. Dalam dua tahun ke depan fasitas tersebut berupaya membuat pasien benar-benar bebas ketergantungan dari obat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement