Kamis 26 Aug 2010 21:38 WIB

Tugaskan Membuat Skema Serangan Teroris, Guru di Australia Dikecam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Siswa di sebuah sekolah di Australia (Ilustrasi)
Foto: ABC NEWS
Siswa di sebuah sekolah di Australia (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA--Entah apa yang ada dipikirkan salah seorang pendidik Australia saat memerintahkan murid-muridnya untuk membuat skema serangan teroris termasuk target yang diburi dan waktu yang tepat untuk membunuh banyak warga tidak bersalah. Celakanya, sang guru menilai tugas itu bukan dimaksudkan untuk mempromosikan terorisme.

Siswa kelas 10,  Kalgoorlie-Boulder community high school, Australia Barat diberikan tugas itu minggu lalu saat kelas membahas materi konflik dan teorisme. Kepala sekolah itu, Terry Martino, segera membatalkan tugas itu setelah ia mendengarnya dari berbagai media di Australia.

Penugasan kontroversial itu segara direspon warga Australia melalui surat kabar, diskusi radio, forum online. Sebagian korban serangan terorisme begitu marah mendengar kabar itu. Namun, tak sedikit yang menilainya sebagai ide yang bagus. "Hal ini sangat ofensif bila anda terlibat," ujar Peter Hughes salah satu korban selamat peristiwa Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 termasuk didalamnya 88 warga Australia.

Hugher menilai tugas semacam ini merupakan materi yang diajarkan sekolah radikal di Indonesia. "Materi seperti itu harusnya diberikan pada negara dengan sistem pendidikan berpinsip siulan," kata dia kepada harian lokal Australia.

Dirjen Departemen Pendidikan Australia, Sharyn O'Neill, menyatakan tugas yang diberikan bertujuan untuk mengajarkan siswa tentang konflik dan melihat perspektif  lain. Namun, kata dia, sang guru telah membuat kesalahan lantaran tidak peka dan profesional. "Sang guru, dengan perhatiannya justru mengajak siswanya berpikir lain tentang konflik. Saya pikir ada cara lain untuk melakukannya. Ini bukan hal yang diharapkan dari pendidik profesional," tegasnya kepada wartawan di Perth.

O'Neil mengatakan dirinya percaya pihak sekolah telah memberikan kebijakan yang tepat dengan pemberian tugas dan menasihati guru tentang sifat yang tidak pantas dengan metodenya. Namun sayang, kata dia,  sekolah tempat guru itu mengajar menolak untuk memberi tahu identitasnya.  "Saya pikir dia bermaksud baik tapi dia membuat kesalahan dan dia sangat menyesal karena tidak memikirkan dampak pemberian tugas ini," kata dia.

Sementara, seorang ayah yang kehilangan anaknya bernama Jos dalam pemboman di Bali, Brian Deegan, menilai seorang guru harusnya memberikan ide baik dengan materi yang mengajarkan penyesalan dan simpati. "Saya pikir diskusi tentang terorisme di kelas merupakan ide yang sangat baik asalkan arahnya tepat," kata dia kepada AP.

Deegan berpandangan kalau memang tugas itu dimaksudkan untuk mengajari anak-anak tentang dampak dan pengaruh terorisme pada orang-orang yang tidak bersalah dan mencoba belajar bersimpati dan menyesal, itu merupakan langkah yang positif.

Salah seorang pelajar sekolah tersebut, Sarah Gilbert, 15, mengatakan kepada surat kabar ia merasa ngeri dengan tugas yang diberikan. "Saya terkejut dan sangat tersinggung. Aku tersinggung karena aku muak ada yang meminta seseorang untuk melakukan atau berpikir tentang itu. Ada perbedaan antara menjadi teroris dan belajar tentang terorisme," kata dia.

Gilbert, yang ibunya kehilangan seorang kerabat di bom Bali, pun menulis surat kepada gurunya menolak mengerjakan tugas itu. "Meskipun kelihatannya kecil, bagi saya keyakinan lebih penting daripada nilai 'A' yang menyatakan saya pintar," tulis Gilbert.

Australia, sebagai sekutu setia AS dalam perang melawan teror, telah kehilangan lebih dari 100 warga dalam serangan teroris di luar negeri, kebanyakan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Australia menangkap sinyal adanya rencana serangan terhadap negara itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement