Selasa 14 Sep 2010 02:44 WIB

Mandela Sempat Kecam Keras Tony Blair atas Invasi Irak

Nelson Mandela
Foto: zimbio.com
Nelson Mandela

REPUBLIKA.CO.ID,  LONDON--Tokoh Afrika Selatan, Nelson Mandela merasa dikhianati oleh keputusan Tony Blair untuk bergabung dalam invasi ke Irak. Mandela bahkan menelpon dengan nada gusar untuk memprotes perdana menteri Inggris kala itu.

Anggota parlemen Inggris, Peter Hain, dalam biografi mantan presiden Afrika Selatan yang diterbitkan pada Senin (13/9) ini mengatakan Mandela mengeluarkan 'nafas api' dalam telepon tersebut.

Mantan Menteri Welsh itu mengatakan Mandela menilai kerja keras baik Blair 'diterjang oleh air' dengan keputusan beperang tersebut.

Hain menuturkan kritikan itu disampaikan secara formal, bukan kapasitas sebagai seorang pribadi. Hain bekata," Ia (Mandela-red) menelpon saya ketika masih menjadi menteri di kabinet pada 2003, setelah invasi dilakukan.

"Ia berkata, 'Sebuah kesalahan besar Peter, sebuah kesalahan sangat besar. Ini salah. Mengapa Tony melakukan itu setelah dukungannya terhadap Afrika. Karena itu akan menyebabkan kerusakan besar di skala internasional,"

Peter mengatakan ia tak pernah mendengar Mandela begitu marah dan frustasi. "Jelas sekali bahwa ia menyatakan dengan kuat bahwa keputusan yang telah diambil perdana menteri--dan juga saya sebagai bagian kabinet yang memiliki peran--secara fundamental sangat salah," ujarnya.

"Ia berkata keputusan itu akan menghancurkan semua hal baik yang telah dilakukan Tony Blair dna pemerintahannya dalam lingkup kemajuan politik di penjuru dunia," ujarnya.

Mandela, menurut Peter, selalu mengapresiasi penuh cara pemerintah Inggris mengatur dan mengelola bantuan luar negeri dan anggaran pembangunan bagi Afrika.

"Saya mengenal Nelson Mandela cukup baik. Ia benar-benar mengeluarkan nafas api ketika berbicara lewat telepon dan merasakan pengkhianatan. Sangat terlihat betul,"

Lewat telepon, tutur Peter, ia menyatakan menghormati perasaan Mandela. Namun ia juga menjawab bahwa perdana menteri 'bertindak diluar keyakinan'.

"Saya  pikir kita cukup menilai cerita ini secara historis apakah itu memang keputusan tepat. Namun ia berkeras bahwa kita tak bisa menunggu sejarah," ujar Peter.

Peter dulu tumbuh besar di Afrika Selatan, di mana orangtuanya, penggiat kampany anti-Apartheid mengenal Mandela. Sosok yang Peter gambarkan sebagai seorang 'teman sekaligus pahlawan'.

sumber : bbc
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement