REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD--Ratusan ribu tahanan mendekam di penjara di Irak tanpa melalui proses peradilan. Amnesty Internasional mencemaskan resiko penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap para tahanan tersebut.
Dalam laporan terbaru berjudul Rezim Baru, Siksaan yang Sama: Penahanan Tanpa Proses Hukum dan Penyiksaan di Penjara Irak, mereka menyoroti penahanan bertahun-tahun yang dialami para tahanan di penjara Irak tanpa proses peradilan yang jelas. Beberapa diantara para tahanan itu mengalami penyiksaan, yang kerap dilakukan di penjara rahasia.
Meski pemerintah Irak kesulitan menyebutkan angka pasti, Amnesty Internasional memperkirakan jumlah tahanan itu mencapai sekitar 30 ribu orang, termasuk mereka yang ditransfer dari penjara Amerika Serikat.
Beberapa diantara para tahanan tersebut meninggal dunia di penjara, diduga merupakan akibat dari penyiksaan serta perlakuan buruk para penyidik dan penjaga penjara.
Salah seorang korban penahanan sewenang-wenang itu bernama Walid Yunus, yang ditahan sejak tahun 2000. di Erbil. Ia sempat melakukan mogok makan selama 45 hari sebagai protes akibat penahanan tersebut. Hingga kini dia masih ditahan di Erbil. Amnesty International membuat kampanye, menuntut keadilan bagi Yunus dan ribuan orang lain yang mengalami nasib serupa.
Sementara salah seorang korban tewas bernama Mohammad Saleh al-Uqaibi. Ia menghembuskan nafas terakhir Februari lalu, akibat pendarahan dalam. Tulang rusuknya patah dan hatinya mengalami kerusakan, akibat seringnya dipukuli ketika menjalani proses interogasi. Mantan anggota Pasukan Khusus Irak itu ditangkap pada bulan September 2008 dan ditahan di kawasan Zona Hijau Baghdad yang dijaga ketat, sebelum akhirnya dipindahkan ke penjara yang dirahasiakan di bandara Muthana. Jenazah pria berusia 54 tahun itu dikembalikan kepada keluarganya beberapa pekan kemudian sesudah kematiannya. Dalam sertifikat kematiannya, tertera penyebab kematian al-Uqaibi adalah akibat mengalami gagal jantung.
Lebih dari 400 orang tahanan mendekam di penjara rahasia yang sama dengan al-Uqaibi, yang keberadaanya baru dipublikasikan pada bulan April 2010. Kepada Amnesty Internasional, beberapa tahanan itu mengaku ditangkap akibat kesalahan informasi yang dilaporkan oleh para informan rahasia kepada pasukan keamanan Irak.
Mereka yang ditahan tidak dizinkan berkomunikasi dengan dunia luar. Mereka disiksa agar mengakui terlibat dalam pemboman atau kejahatan lain yang ancamannya hingga hukuman mati.
Amnesty Internasional menyebutkan penyiksaan kerap dilakukan di Irak untuk memperoleh "pengakuan". Dalam beberapa kasus, para tahanan itu diminta menandatangani dokumen pengakuan dengan mata ditutup atau tak diizinkan membaca isi dokumen itu. Pengakuan yang dipersiapkan tersebut sering digunakan bila mereka diproses ke pengadilan. Termasuk dalam kasus-kasus dimana mereka diancam hukuman mati. Ratusan narapidana dilaporkan telah divonis hukuman mati, beberapa di antaranya bahkan telah dieksekusi.