REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA--Ada kemajuan kecil dalam hal perlindungan bagi anak dalam konflik bersenjata. "Tahun lalu terdapat sejumlah perkembangan positif menyangkut kondisi anak dalam konflik bersenjata, di seluruh dunia. Di Nepal, PBB memfasilitasi pembebasan lebih 3.000 anak dari kamp pasukan pemberontak Maois, dan siap membantu mereka untuk reintegrasi," kata Pelapor khusus PBB Rhadika Coomaraswamy, dalam sidang Dewan HAM di Jenewa, Selasa (14/09).
Kemajuan juga dilihat Coomaraswamy di sejumlah wilayah konflik di Afrika. "Tentara Pembebasan Rakyat Sudan menyepakati perjanjian dengan PBB dan mulai membebaskan tentara anak. Di Burundi, milisi FML sudah membebaskan semua tenara anak, dan dimulailah kini tugas sulit untuk mereintegrasi anak-anak ini kembali ke masyarakat."
Tapi itu hanya kemajuan kecil. Masyarakat internasional masih harus mengatasi halangan dan menguasai tantangan untuk melindungi anak-anak dalam konflik bersenjata. "Perkosaan massal baru-baru ini di Republik Demokratis Kongo sangat mengguncang. Menurut penyelidikan terakhir, sampai 500 perempuan dan anak-anak dianiaya secara seksual. Korban termuda berusia 7 tahun. Ini adalah tanggung jawab kita bersama."
Konvensi Perlindungan Anak disepakati 192 anggota PBB tahun 1990. 10 tahun silam mereka memutuskan dua protokol tambahan untuk melindungi anak dari eksploitasi seksual dan melarang perekrutan anak di bawah 18 tahun dalam ketentaraan. Namun protokol tambahan tersebut baru diratifikasi 135 dari 192 negara anggota PBB.
Tapi masalah pokoknya, tidak ada instrumen untuk mengimplementasikan peraturan tersebut, terutama di negara-negara yang merativikasi konvensi namun tidak mematuhinya. Tidak ada lembaga publik yang mengawasi pelaksanaan konvensi. Tidak ada peluang bagi anak-anak, yang haknya dilanggar, untuk mengajukan keluhan atau pengaduan secara resmi. Maka para pelanggar tak perlu mengkuatirkan hukuman dan sanksi.
Pelapor Khusus PBB untuk Anak dan Konflik Bersenjata, Rhadika Coomaraswamy menekankan pentingnya rosedur yang membuat dunia perhatian pada kejahatan terhadap anak, dengan begitu dapat bereaksi secara efektif. Tapi yang paling penting, pelaku kejahatan mengerikan ini harus bertanggungjawab."
Banyak anggota Dewan HAM yang setidaknya secara lisan mendukung kampanye Coomoraswamy, "Toleransi Nol untuk Usia di Bawah 18 Tahun". Utusan khusus PBB itu menuntut agar kelak, remaja di bawah usia 18 tahun tidak boleh lagi mengikuti dinas militer, walaupun secara sukarela.