Jumat 01 Oct 2010 19:08 WIB

Polisi Mengamuk, Ekuador Nyatakan Negara dalam Keadaan Darurat

\
Foto: AP
\"Hujan\" gas air mata memenuhi ibu kota Quito, Ekuador, setelah ratusan polisi mengamuk.

REPUBLIKA.CO.ID, QUITO--Ratusan polisi marah atas aturan yang akan memotong gaji mereka mengantarkan Ekuador, negara kecil di Amerika Selatan ini dalam kekacauan. Pemerintah membubarkan aksi dengan gas air mata. Penutupan bandara dan jalan tol membuat negara ini berada di ambang mogok massal.

Setidaknya satu orang tewas dan enam luka-luka dalam bentrokan antara polisi dan pendukung Presiden Rafael Correa di luar rumah sakit polisi di mana pemimpin sedang dirawat, menteri keamanan mengatakan. Sang presiden dirawat setelah sebelumnya dilempari  dengan air dan  gas air mata ketika ia mencoba untuk berbicara dengan perwakilan pengunjuk rasa. Pemimpin 47 tahun itu dibawa ke rumah sakit setelah hampir sesak napas oleh gas.

Setelah akun Facebooknya dibajak dan penuh dengan kata-kata kasar, dan dikelilingi oleh puluhan polisi pemberontak di luar rumah sakit, presiden menyatakan dirinya "secara praksis telah ditawan."

Dia bilang dia sedang bernegosiasi dengan pemberontak polisi, tetapi ia bersumpah untuk keluar "sebagai presiden atau sebagai mayat."

Pemerintah mengumumkan keadaan darurat, menempatkan militer yang bertanggung jawab atas ketertiban umum, menangguhkan kebebasan sipil dan memungkinkan tentara untuk melakukan pencarian tanpa surat perintah.

Polisi pemberontak mengambil alih barak polisi di Quito, Guayaquil, dan kota-kota lainnya. Beberapa mendirikan penghalang jalan dengan membakar ban dan memotong akses jalan ke ibukota.

Sekolah ditutup di Quito dan banyak bisnis tutup lebih awal karena tidak adanya perlindungan polisi yang meninggalkan warga dan bisnis yang rentan. Penjarahan dilaporkan di ibukota - di mana setidaknya dua bank dirampok - dan di kota pantai Guayaquil. Koran utama negeri ini, El Universo, melaporkan serangan terhadap supermarket dan perampokan terjadi karena tidak adanya polisi. Ratusan pendukung Correa berkumpul di luar Majelis Nasional, yang kemudian ditangkapi oleh polisi.

Komandan angkatan bersenjata, Jenderal Ernesto Gonzalez, menyatakan loyalitas militer untuk Correa dalam sebuah konferensi pers. Ia menyerukan "kembali dialog, yang merupakan satu-satunya cara  bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan ."

Tapi dia juga meminta agar hukum yang memprovokasi kerusuhan   "ditinjau atau tidak  berlaku sehingga pegawai negeri, tentara dan polisi tidak melihat hak-hak mereka terpengaruh."

Peru dan Kolombia menutup perbatasan negara mereka dengan Ekuador. Presiden Bolivia, Evo Morales, memanggil presiden Amerika Selatan untuk pertemuan darurat hari Kamis malam di Buenos Aires, Argentina.

Negara miskin berpenduduk 14 juta jiwa ini  memiliki sejarah ketidakstabilan politik sebelum Correa. Dalam satu dekade mereka pernah memiliki delapan presiden, tiga dari mereka diusir dari jabatannya oleh protes jalanan.

Pada bulan April 2009, setelah para pemilih menyetujui konstitusi baru yang diperjuangkan, Correa menjadi presiden pertama Ekuador untuk memenangkan pemilihan tanpa kekerasan. Keberhasilan itu telah menyebabkan dia disebut-sebut bertindak dengan terlalu percaya diri, bahkan penuh kesombongan.

Menghadapi para demonstran Kamis pagi, Correa gelisah dan pantang menyerah. "Jika Anda ingin membunuh presiden, di sini dia! Bunuh saya!" ia mengatakan mereka sebelum  pergi dengan bantuan tongkat.

Ekuador memiliki 40 ribu polisi. Correa menyebut kerusuhan "upaya kudeta" yang didorong oleh lawan-lawannya yang menunggang korp kepolisian.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement