REPUBLIKA.CO.ID,DEN HAAG--Pemimpin pemberontak Rwanda, Callixte Mbarushimana, mendapat dakwaan telah melakukan aksi kekerasan terhadap kemanusiaan di Republik Demokratik Kongo. Tudingan itu disampaikan pengadilan kejahatan internsional (ICC) yang berhasil menangkap Mbarushimana di Paris beberapa waktu lalu.
Dalam pernyataan ICC antara lain menyebutkan terkait dengan telah dikeluarkannya surat perintah penahanan 28 September 2010, pemerintah Prancis telah menahan Mbarushimana yang dicurigai terlibat aksi pelanggaran HAM dan kejahatan perang di Nord Kivu dan Sud Kivu, yang terletak di wilayah Republik Dekomratik Kongo (DRC).
Pria berusia 47 tahun itu akan menghadapi lima dakwaan pelanggaran HAM dan enam kejahatan perang termasuk pembunuhan, pemerkosaan dan kekerasan lainnya termasuk perusakan sejumlah bangunan. ICC juga menyebut aksi kejahatan itu dilakukan selama terjadinya penyerangan yang dilakukan Kekuatan Demokratik Pembebasan Rwanda (FDLR) terhadap warga sipil di propinsi Nord Kivu dan Sud Kivu tahun 2009. Mbarushimana sendiri selama ini telah tinggal di Prancis sebagai tempat pembuangannya setelah menerima status sebagai pengungsi tahun 2003.
ICC menyebutkan adanya alasan kuat yang mengarah kepada keterlibatan Mbarushimana secara pribadi dalam meluasnya aksi kekerasan dan penyerangan terhadap warga sipil sebagai upaya untuk menciptakan malapetaka bagi kemanusiaan. hal itu dilakukan sebagai tujuan untuk memperoleh perhatian internasional dan konsesi politik.
Juru bicara pemerintah Rwanda, Lambert Mende seperti dikutip AFP menyambut baik penahanan tersebut mengingat aksi kekerasan yang ditebarkannya sangat merugikan warga sipil. ''Ini kabar baik bagi Republik Demokrat Kongo karena Mbarushimana yang menjadi pimpinan FDLR telah menebar bahaya kematian dan pengerusakan di negara kami,'' tuturnya.
Jejak FDLR sebelumnya bermula di dalam tubuh militer Rwanda dan kelompok esktrim Hutu yang melarikan diri ke Kongo saat kelompok Tutsi berkuasa di Kigali Juli 1994. Di Nord Kivu mereka membentuk Tentara pembebasan Rwanda (Alir) dan melancarkan serangkaian aksi kekerasan sepanjang 1997 hingga 1998 di barat laut Rwanda.
Alir belakangan menjelma menjadi FDLR, sebuah gerakan militer yang berupaya menggulingkan rejim Kigali tahun 2001. Menurut lembaga pengawas HAM di New York, selama berkuasa FDLR sedikitnya telah melakukan 630 kali pembunuhan terhadap warga sipil sepanjang januari hingga September 2009 lalu.