REPUBLIKA.CO.ID, KABUL--Ada udang dibalik batu. Pribahasa itu sekiranya tepat dalam menggambarkan kondisi perdamaian di Afghanistan. Pertikaian yang melibatkan pemerintah Afghanistan, pimpinan Hamid Karzai dan Taliban seolah tak kunjung usai. Satu sama lain menaruh curiga. Pemerintah Afghanistan dinilai Taliban memiliki agenda terselubung pemerintah AS. Sebaliknya, Taliban dinilai pemerintah Afganistan memiliki misi terselubung yang sama.
Sejatinya, proses rekonsialiasi telah dimulai pemerintah Afghanistan. Presiden Hamid Karzai, telah membentuk Dewan Perdamaian Tinggi. Dewan ini yang bertugas untuk membuka dialog terhadap Taliban di setiap tingkatan. Kepada pimpinan NATO dan komandan pasukan AS di Afghanitan, David Petraeusm, Presiden Karzai bahkan mengaku telah melakukan pendekatan terhadap pimpinan Taliban. Mendapat laporan itu, Petraeus segera merestui usaha Karzai dengan memberikan jaminan keamanan petinggi Taliban dalam melakukan perjalanan ke Kabul guna menghadiri pembicaraan dengan pemerintah.
Usaha keras pemerintah disikapi dingin Taliban. Menurut mereka, setiap pernyataan yang dibuat pemerintahan Karzai sengaja dibuat guna memperlihatkan bahwa mereka bersedia untuk berdialog. Pejabat Afghanistan dan diplomat Barat di Kabul, juga mengatakan harapan baru-baru ini terlalu berlebihan. Hal itu terbukti dengan molornya pembentukan dewan perdamaian yang merupakan hasil intervensi barat.
Pejabat di Dewan Tinggi Perdamaian mengatakan arah kebijakan yang memprioritaskan perdamaian telah dijalankan semenjak tahun 2002. Kebijakan ini yang kemudian melahirkan beberapa inisiatif seperti, perundingan yang berlangsung selama bulan suci Ramadhan tahun 2008 lalu. Namun nahas, tidak banyak kesepakatan yang diperoleh.
Perubahan kebijakan juga dijalankan NATO. Pakta pertahanan peninggalan perang dingin itu mulai menempuh jalan dialog. Veteran tentara Afghanistan, Ahmed Rashid menilai perubahan kebijakan AS belumlah total."AS masih belum bersedia berunding langsung dengan Taliban. Tapi langkah AS mencerminkan perubahan masih sangat jauh,' kata dia.
Sulit ditebak
Kondisi perdamaian di Afghanistan memang sulit ditebak. Masing-masing pihak melakukan aksi perang informasi. Taliban misalnya, tidak diketahui apakah kelompok tersebut masih dipimpin oleh Mullah Omar atau telah digantikan. Wahid Mujda, seorang analis politik dan mantan pejabat pemerintahan Taliban mengatakan perkembangan perdamaiaan di Afganistan sangatlah menarik. "Taliban sangat konsisten bahwa mereka tidak akan pernah berbicara dengan apa yang mereka anggap sebagai pemerintahan boneka atau berbicara dengan orang Amerika."
Rashid, seorang kenalan lama presiden Afghanistan, Hamid Karzai mengaku sang presiden cemas kesepakatan damai merupakan cara untuk mendapatkan pengampunan bagi semua kegagalan yang lain. Karzai menyadari bakal kehilangan keuntungan ketika Taliban menerima kesepakatan perdamaian. Maka tak heran, Karzai seolah tidak sungguh-sungguh dalam melakukan pendekatan.
Mullah Ahmad Mutawakkil, mantan menteri luar negeri Taliban yang kini duduk di Dewan Tinggi Perdamaian, mengatakan kedua belah pihak telah membuat kesalahan yang sama dari kondisi yang terjadi. "Manfaat tidak akan datang dari mereka," kata dia.
Hambatan besar dalam proses dialog terjadi juga disebabkan tuntutan kedua pihak yang bertolak belakang. Pemerintahan Karzai dan sekutunya mengatakan Taliban harus mengecam keberadaan jaringan teroris internasional, menerima konstitusi dan meletakan senjata. Tuntutan itu dibalas dengan syarat Taliban yang meminta semua pasukan asing harus keluar dari Afganistan.
Tarik menarik tuntutan juga ditenggarai adanya masalah identifikasi musuh yang dialami pemerintah dan sekutunya. Bertebarnya perlawanan lokal terlihat merepotkan Karzai dan AS. Hal itu menunjukkan bahwa ketidakmampuan pemerintah atau kehadiran pasukan asing dalam mengkontrol perlawanan warga setempat. Menurut Davood Moradian, penasihat kebijakan di kementerian luar negeri, selama tidak ada konsensus tentang siapa musuh pemerintahan Karzai dan sekutunya sudah pasti sulit menuju jalan rekonsiliasi.