Selasa 09 Nov 2010 04:24 WIB

Intelijen AS Khawatirkan Kelompok Teror di Indonesia

Rep: una/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON--Intelijen Amerika Serikat mengkhawatirkan kekuatan kelompok ekstremis di Indonesia tengah memperkuat organisasinya dan mengamati Barat sebagai target. Meski Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang cukup sukses memerangi terorisme, namun ditemukanya kamp pelatihan militan membuat risau pemerintah AS.

Kekhawatiran ini muncul di tengah persiapan kunjungan kenegaraan Obama pada Selasa dan Rabu (9-10/11). Departemen Pertahanan AS baru-baru ini memperbaharui program pelatihan militer dengan pasukan khusus Indonesia juga meningkatkan bantuan militer. Pemerintahan Obama meyakini Indonesia membutuhkan bantuan dalam pelacakan dan memberantas teroris, juga mereka yang kembali bergabung setelah ke luar penjara.

Sepanjang tahun lalu polisi dan otoritas militer menangkap dan menewaskan lebih dari 100 orang yang merupakan anggota kelompok teroris. Namun pejabat pertahanan AS pun masih khawatirakan ancaman terorisme sewaktu-waktu di Indonesia.

Mereka memantau gerak-gerik atau komunikasi yang meningkat antara ekstrimis di Indonesia dengan pimpinan Al Qaidah di Pakistan dan Afghanistan. Sumber di Kementrian Pertahanan AS mengatakan kunjungan kenegaraan Obama dapat terwujud karena AS menilai Indonesia telah menunjukkan niat dan kemampuan untuk memberantas terorisme.

Pejabat itu menuturkan bukti Indonesia serius menangani terorisme antara lain mengembangkan program rehabilitasi yang agresif, beberapa kali penangkapan dan penggerebekan rumah yang didiami pelaku teror.

Mereka juga mengkhawatirkan beberapa militan yang dipenjarakan telah kembali untuk berperang setelah mereka dibebaskan. Sehingga menimbulkan pertanyaan seberapa efektif program rehabilitasi yang dilaksanakan pihak berwenang dan seberapa jauh aparat dapat memonitor mereka setelah keluar dari penjara. "Ada kelompok garis keras yang tidak bisa diubah sikapnya," kata Sidney Jones, analis dari International Crisis Group yang berbasis di Brussels.

Penemuan sebuah kamp pelatihan teroris di Provinsi Aceh tahun ini meningkat kekhawatiran AS bahwa mungkin ada ancaman muncul lainnya di wilayah terpencil di Indonesia yang tidak terpantau pemerintah pusat. Kelompok Aceh ini ditengarai tengah merencanakan serangan teror seperti insiden teror di Mumbai, India pada 2008.  Pentagon memantau bahwa serangan teror di Indoensia selama delapan tahun belakangan menyerang kepentingan Barat.

Pejabat itu mengatakan militan di Indonesia tampaknya telah terinspirasi dan pada kesempatan lain juga didorong oleh apa yang dilakukan oleh kelompok al Qaidah. Mereka menduga adanya komunikasi terus menerus antara mereka dengan al Qaidah dan mereka punya sedikit bukti.

Sejak kelompok Aceh ditangkap, perhatian satuan antiteror terhadap daerah itu semakin meningkat. Mereka menduga bahwa salah satu pimpinan teroris yang paling diburu di Indonesia seperti Umar Patek, tengah berada di Filipina dan mungkin mencari kesempatan melakukan perjalanan kembali ke Indonesia. Bahkan ada kemungkinan Umar Patek sudah berada di Indonesia

Patek dan Dulmatin, keduanya anggota militan Jemaah Islamiyah melarikan diri ke Filipina selatan setelah melancarkan bom. Dulmatin kembali ke Indonesia dan dibunuh oleh polisi dalam tembak-menembak Maret lalu. Bantuan AS untuk program penanggulangan terorisme berupa dana untuk pembelian helikopter, radar dan kapal ukuran kecil.

Selain itu sejak 2006, Pentagon telah mengirim sekitar 60 juta dolar bantuan militer kepada Indonesia untuk sistem peringatan maritim dan 20 juta dolar dalam recnana.

Langkah oleh militer AS untuk kembali terlibat dengan unit pasukan elit khusus Indonesia, atau Kopassus bias saja menuai hasil, atau sebaliknya menjadi perhatian aktivis hak asasi manusia. Sebelumnya AS menghentikan kerjasama dengan pasukan khusus pada 1997, karena kecurigaan Kopassus melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Namun kini mereka menilai bahwa Indonesia telah melakukan serangkaian langkah untuk mencegah pelanggaran HAM oleh militer.

AS menyimpulkan bahwa Indonesia telah mencoba untuk membendung pelanggaran, dan bahwa larangan itu menghambat hubungan militer dengan Indonesia yang dianggap sebagai sekutu AS di Asia-Pasifik. Menurut Jones tidak hanya Indonesia, deradikalisasi adalah masalah pelik yang dihadapi banyak negara.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement