REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Manal Hassan, pengusaha di Jalur Gaza, menghela napas saat melewati tumpukan produk biskuitnya. Produk itu teronggok di gudang pabrik biskuit Al-Awda yang ia jalankan. Letaknya di wilayah Gaza pusat. "Sangat menyedihkan. Anda bisa bayangkan saat pabrik ini berjalan. Begitu hidup dan sarat orang. Namun sekarang, seperti sedang sekarat," katanya menahan tangis.
Perempuan yang sedang hamil delapan bulan ini melanjutkan kisahnya. Al-Awda dulunya merupakan salah satu pabrik terbesar dan tersibuk di Gaza. Lebih dari 300 orang bekerja di sana. Selain menghasilkan biskuit, pabrik ini juga memproduksi es krim. Kini, pabrik itu kembang kempis sebab Israel memberlakukan larangan menjual ke luar Gaza.
Padahal, Al-Awda mengandalkan penghasilannya dari penjualan ke luar wilayah yang diblokade itu, selain memasok pasar di Gaza. "Saat ini, pasar dibanjiri produk biskuit impor dari Israel yang harganya lebih murah. Sayangnya, kami belum diizinkan untuk menjual keluar," kata Hassan seperti dikutip bbc.
Keadaan ini membuat Al-Awda tak bisa berbuat banyak. Mereka agak sulit memenuhi pasar domestik demikian pula pasar di luar Gaza. Maka itu, Al-Awda tak bisa beroperasi secara penuh seperti biasanya. Hanya beberapa hari dalam sebulan. Itu pun kalau ada permintaan.
Ironis memang. Sebenarnya, Israel memperingan blokade sejak Juni silam, tetapi justru membuat kondisi lebih buruk bagi Manal Hassan. Pabriknya memang lebih mudah mendapatkan bahan baku impor pembuatan biskuit. Di sisi lain, tak ada lagi pasar yang terbuka bagi produknya.
Sebelum Israel memperketat blokade terhadap Gaza pada 2007, Al-Awda biasa menjual 60 persen produknya ke luar Gaza. Sebagian besar ke Tepi Barat. Tiga setengah tahun lalu, larangan penjualan keluar Gaza diberlakukan. Hanya yang masih diperbolehkan adalah bunga dan stroberi saat musim panen tiba.
Musim panen lalu, 17 juta anyelir diekspor via Israel, menyusul kesepakatan dengan Pemerintah Belanda. Pada tahuntahun sebelum blokade Gaza diterapkan, sebanyak 40 juta anyelir bisa diekspor. Pelarangan produk ke luar Gaza berdampak pada denyut ekonomi di wilayah itu.
Tingkat pengangguran telah mencapai 40 persen. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan 80 persen warga Gaza bergantung pada bantuan makanan. Omar Shabban, pakar ekonomi dari Palthink, sebuah lembaga pemikiran berbasis di Gaza, mengatakan, dulu Gaza mengekspor barang senilai 300 juta dolar per tahun.
"Kami pernah mengekspor tekstil. Tak hanya ke Israel, tetapi juga Marks and Spencer di Inggris. Kami juga mengekspor furnitur dan ratusan barang lainnya," ujar Shabban. Ia mengingatkan, jika larangan ekspor tak segera diangkat, kemiskinan di Gaza kian menjadi. Ini kelak memantik ekstremisme dan radikalisasi. Shabban menyebutkan, untuk mengatasi keadaan yang sangat menyulitkan ini, sejumlah pengusaha Gaza mulai mengekspor barang melalui terowongan ke Mesir.