Sabtu 13 Nov 2010 07:32 WIB

Inggris Pangkas Anggaran Kesejahteraan Sosial

Rep: Wulan Tunjung Palupi/ Red: Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Langkah tegas Inggris memotong berbagai anggaran sistem kesejahteraan akan mulai dirasakan rakyatnya. Pemerintah Inggris merencanakan denda bagi para penerima tunjangan sosial yang tidak mau bekerja atau melakukan kegiatan sosial.

Menteri Pekerjan dan Pensiun, Iain Duncan Smith, mengungkap rencana pemotongan anggaran kesejahteraan yang punya sejarah panjang itu. Anggaran ini diperkenalkan sejak Perang Dunia II. Sistem ini diciptakan untuk melindungi keluarga para pengangguran, bayi-bayi mereka, dan anggota keluarga miskin yang sakit.

Selama ini banyak kritik yang menyatakan bahwa jaminan kesejahteraan di Inggris adalah salah satu yang paling murah hati di Eropa, juga jika dibandingkn dengan AS dan negara maju lainnya. Akibatnya banyak penerima tunjangan, pengangguran lebih memilih menerima tunjangan dan tidak  bekerja jika tidak benar-benar cocok.

"Pesannya jelas, jika Anda bisa bekerja, maka tunjangan tidak boleh jadi milik Anda," ujar Perdana Menteri, David Cameron. Ia menyatakan akan memotong anggaran tunjangan sebesar 18 miliar poundsterling dalam jangka waktu empat tahun.

Dalam rencana baru pemerintah, sebanyak 5 juta orang yang menerima tunjangan pengangguran akan diminta bekerja untuk lingkungn mereka selama empat pekan tanpa dibayar jika mau mendapat tunjangan 65 pound per minggu. Pekerjaan yang mereka lakukaan bisa berkebun di taman umum atau membersihkan grafiti di dinding.

Selain jumlah tunjangan yang disebut di atas, para pengangguran juga menerima tunjanga sewa rumah dan membesarkan anak. Rencana ini merupakan bagian dari agenda kampanye Cameron untuk memperbaiki masalah sosial di Inggris.

Duncan Smith mengatakan, dengan aturan baru pemerintah, barang siapa yang menolak pekerjaan, serta tidak mau bekerja untuk komunits akan dikenakan penalti. Hukumannya berupa tunjangan akan dihentikan selama tiga bulan, enam bulan tu hingga tiga tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement