REPUBLIKA.CO.ID, Pernah lihat Obama naik becak? Pasti tidak. Kecuali orang-orang terdekatnya saat ia kecil di Jakarta. Barack H Obama kini datang hanya mengunjungi Jakarta. Itu pun cuma sehari. Sedangkan, di Ibu Kota ini sudah tak ada becak. Apalagi, sekarang ia presiden. Begitu terikat aturan protokol. Tak bisa kemana-mana.
Saya beruntung melihat Obama naik becak. Di sebuah mal di pusat kota. Bukan sosok Obama sebenarnya tentu. Tapi, bukan pula orang yang mirip dengannya--yang suka jadi bintang iklan itu. Obama yang ini, Obama karya perupa. Persis seukuran dengannya. Lengkap dengan ekspresi dan gaya khasnya. Lalu, duduk di becak berwujud sebenarnya. Sebuah karya yang sungguh memukau. Bahkan, bagi yang tak tertarik Obama sekalipun.
Apa pentingnya melihat Obama naik becak begitu. Tidak benar-benar penting memang, tapi menghibur. Di saat seperti sekarang, yang menghibur menjadi penting. Tak banyak hal yang dapat menghibur. Berita-berita yang tersiar di media begitu muram dan sedih. Wasior, Mentawai, dan Merapi tanpa henti mengiris-iris nurani. Begitu pula berita di Jakarta. Termasuk Wakil Lurah Halim yang menghajar warga di kantornya sendiri dengan tongkat golf hingga patah. Bukan mengecam, para koleganya justru berusa ha mengaburkan kebiadaban itu.
Memang ada kabar yang bisa membuat terkekeh-kekeh. Yakni, kabar Gayus sang terdakwa kasus korupsi pajak itu tak ada dalam tahanan. Lalu, muncul foto mirip Gayus di Bali sedang nonton pertandingan tenis dunia. Wig yang dipakai tak mampu menutupi kegayusannya. Tapi, kabar lucu ini pun sebenarnya juga potret miris bangsa. Lho, bagaimana simbol pelaku korupsi ini dibiarkan begitu leluasa? Bila itu benar, Gayus memang gayus. Pintar `menggayusi' seluruh negeri ini. Termasuk polisi di jantung markasnya sendiri. Negeri di mana polisi tak beda dengan `rocker juga manusia'.
Maka, melihat Obama naik becak sungguh menghibur. Senyum lebarnya terasa tulus, tidak dibuat-buat. Tidak pula menampakkan `jaim', atau jaga imej. Ekspresi wajahnya antusias. Ada rasa keceriaan seorang muda yang asli pada sosok yang akan berusia setengah abad ini. "Youthfulness," begitu orang-orang menyebutnya. Itu pun tampak pada Obama yang sedang di atas becak. Kita terbiasa dengan para pemimpin yang berwibawa dan bergaya ningrat. Disandingkan dengan model, banyak pemimpin yang sudah terbiasa, sedangkan Obama adalah pemimpin yang segar.
Negeri ini perlu pemimpin segar. Pemimpin yang energized, optimistik, serta juicy--tanpa bahan adiktif apa pun. Itulah yang diperlukan Indonesia pada masa mendatang. Saat negeri ini harus makin siap bersaing di kancah global. Sedangkan, persoalan internal juga semakin menumpuk. Tentu itu empat tahun lagi. Yakni, setelah Presiden SBY mengakhiri masa jabatannya. Sebagai pemimpin era transisi, SBY tentu tahu kebutuhan itu. SBY juga punya waktu dan kesempatan membantu bangsa ini demi menyiapkan pemimpin segar bagai Obama. Mudah-mudahan itu dapat diwujudkannya.
Kita tak perlu mengharap apa-apa dari Obama. Kehadirannya pun sudah cukup bermanfaat. Yakni, dapat melihat dari dekat macam apa pemimpin segar seperti dia. Jika para pemimpin kita tulus, antusias, dan siap bekerja secara total buat rakyat, negeri ini akan makmur. Negeri ini akan sejahtera. Obama menginspirasi itu, walau di Amerika banyak yang menolaknya. Meskipun pakai jas, Obama di atas becak itu juga menyiratkan kebersahajaan. Bangsa ini rindu pemimpin bersahaja.
Satu lagi tentang Obama naik becak itu. Karya perupa itu bagus hingga detailnya. Kita sering bekerja sekadarnya, tak sungguh-sungguh berkarya sebaikbaiknya. Lewat sosok Obama itu kita diingatkan, mari bekerja dengan totalitas. Mari berkarya sesempurna mungkin. Bangsa dan negeri ini akan berjaya!