REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO--Sekretaris Jenderal Liga Arab, Amr Moussa, hanya geleng-geleng kepala ketika wartawan memintai komentarnya menyangkut hadiah jet tempur dari Amerika Serikat kepada Israel terkait perundingan langsung Israel-Palestina yang sedang macet. Tanpa harus menjawab sepatah kata pun, gelengan kepala Sekjen Moussa itu sudah membuat orang mafhum bahwa dunia Arab menyesalkan, kalau bukan dikatakan frustrasi atas insentif AS kepada Israel tersebut.
"Itu tidak dapat diterima," kata Moussa, yang juga mantan menteri luar negeri Mesir tersebut dengan nada keras saat jumpa pers pada Kamis lalu. AS pada pekan lalu menawarkan kepada Israel satu paket insentif berupa kesepakatan pembelian 20 jet tempur siluman F-35 senilai tiga miliar dolar AS.
Paket pembelian itu sebagai imbalan Tel Aviv mengubah moratorium 90 hari atas pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat Sungai Jordan. Namun pengubahan itu tidak termasuk di Jerusalem Timur -- kota suci yang didambakan warga Palestina sebagai ibu kota masa depan mereka.
Pembangunan permukiman Yahudi yang dipaksakan Israel itu menjadi biang keladi terhentinya perundingan langsung Israel-Palestina yang dicanangkan Washington pada awal September lalu.
Prakarsa insentif ini datang segera setelah kunjungan Netanyahu ke AS pada Kamis pekan lalu, tempat ia melakukan perundingan dengan Menlu AS Hillary Clinton selama lebih dari tujuh jam.
Insentif jet tempur itu bukannya menyelesaikan persoalan, malah membuat dunia Arab meradang. Para pejabat dan pengamat di Timur Tengah ramai-ramai angkat suara menyoroti insentif yang disinyalir bakal mempengaruhi perimbangan kekuatan militer di kawasan konflik tersebut. Perlombaan Senjata
Pangamat militer, Mohamed Shawkan, dalam kolomnya di harian Al-Anba, Jumat, menganilisa bahwa insentif AS itu tidak sekedar membujuk Israel untuk membekukan permukiman, tapi ada pesan lain dibalik itu, yakni membuat situasi di kawasan itu tidak tentram.
Pesan lain, kata Mohamed, yakni menunjukkan upaya AS dan Israel untuk menakut-nakuti Iran yang baru saja melancarkan pelatihan militer secara massif di seantero negara itu. Israel dan musuh bebuyutannya, Iran, belakangan ini saling mengancam menggunakan kekuatan militer dengan label melindungi kehormatan dan kedaulatan mereka.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga menentang keras insentif tersebut dan menilainya sebagai upaya memperkeruh suasana.
Sementara itu, hampir saban hari Israel menggunakan jet tempur melancarkan serangan terhadap Jalur Gaza, wilayah yang dikuasai Hamas. Pada Jumat (19/11), jet tempur Israel dilaporkan menyerang sebuah rumah di Deir Al-Balah, mencederai empat orang.
Serangan jet tempur juga dilancarkan ke Khan Yunus dan melukai sedikitnya dua orang, kata kantor berita Palestina, WAFA. Militer Israel berdalih bahwa mereka menyerang gerilyawan Palestina yang menembakkan roket ke wilayah Israel.
Kendati demikian, mata dunia kini terarah ke AS, apakah negara adidaya itu mampu mewujudkan tekadnya yang juga menjadi harapan masyarakat internasional untuk mewujudkan penyelesaian konflik Palestina-Israel dengan terbentuknya negara Palestina berdaulat. Setelah diprakarsai Washington pada 2 September, perundingan langsung antara pemimpin Israel-Palestina gagal lagi karena masih adanya ganjalan-ganjalan mendasar terutama masalah permukiman.
Negara-negara Arab memberikan waktu sebulan kepada AS untuk membawa Palestina-israel kembali ke meja perundingan. Ketika batas waktu itu berlalu Washington meminta tambahan waktu untuk membujuk Israel menghentikan pembangunan permukiman Yahudinya di Tepi Barat, wilayah Palestina yang mereka duduki.
Masalah pembangunan permukiman bukan saja menyebabkan proses perundingan perdamaian mengalami kebuntuan, tapi juga membuat masyarakat internasional gusar dan kian marah. Dalam kunjungan Menlu Mesir Ahmad Aboul Gheit mengungkapkan bahwa "sesungguhnya AS meminta tambahan waktu untuk membujuk Israel soal pembekuan pembangunan permukiman."
Namun Aboul Gheit menegaskan bahwa batas waktu yang diberikan dunia Arab kepada AS untuk mendesak Israel itu paling lambat akhir November. Ia merujuk pada gagasan Arab untuk membawa masalah permukiman tersebut ke Dewan Keamanan (DK) PBB.
Jaminan AS Terhadap Israel
AS menjanjikan kepada Israel untuk tidak akan meminta pembekuan tambahan setelah periode 90 hari berakhir. Di balik itu, Washington ingin menandatangani satu perjanjian keamanan global dengan Israel, bersamaan dengan sebuah perjanjian dengan Palestina demi memenuhi kebutuhan keamanan Israel.
Terkait perjanjian tersebut, Washington juga setuju akan memveto setiap usaha di DK PBB atau badan internasional lain yang berupaya menekan Israel. Pernyataan tersebut tampaknya menghadang langkah Presiden Palestina Mahmud Abbas yang berniat membawa masalah ke DK PBB.
Sungguh ironis, sebelumnya, pemerintah Tel Aviv dua pekan lalu telah menyetujui pembangunan 1.300 unit rumah baru untuk permukiman Yahudi di Jerusalem Timur. Padahal Palestina menekankan bahwa pembangunan permukian harus dibekukan tak hanya di wilayah Tepi Barat tetapi juga di Jerusalem Timur, yang berpenduduk mayoritas Arab, sebelum perundingan dengan Israel dimulai kembali.
Para pemukim Yahudi sebenarnya telah membangun 1.649 rumah baru sejak berakhirnya pembekuan pembangunan pada 26 September, kata kelompok pemantau Peace Now.
Selama tahun 2009, pembangunan dimulai untuk lebih dari 1.800 rumah baru, kata laporan itu mengutip data dari Biro Pusat Satistik Israel.
Pembangunan terus berlanjut tanpa pembekuan, mencapai 1.574 unit dalam 10 bulan. Menurut Sekretaris Jenderl Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), para pemimpin Palestina masih menunggu respon resmi AS mengenai pembekuan pembangunan permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967, termasuk Jerusalem Timur.