Jumat 26 Nov 2010 20:26 WIB

Kejahatan Seksual terhadap Etnis Minoritas Myanmar Sangat Tinggi

Kaum wanita Myanmar
Foto: .
Kaum wanita Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID,  YANGON--ANgka kejahatan seksual terhadap kaum perempuan dari etnik minoritas di Myanmar sangat tinggi. Data organisasi bantuan perempuan Shan Women's Action Network atau SWAN, dalam kurun waktu enam tahun ada 625 kasus. Laporan lain organisasi ini juga menunjukkan, bahwa perempuan dari etnis minoritas lainnya juga tidak aman dari kejahatan seksual yang dilakukan tentara pemerintahan.

Menurut SWAN, 60 persen pelakunya adalah perwira. Sebanyak 30 persen korban adalah remaja perempuan di bawah umur dan 25 persen perempuan yang menjadi korban pemerkosaan meninggal setelahnya. Dan yang paling mengejutkan, hanya 1 persen pelaku yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan Myanmar.

Kasus terakhir terjadi awal November lalu, di malam menjelang pemilu di Myanmar. Menurut Hseng Nouong Lintner, aktivis SWAN, para pelaku dengan sengaja tidak menutup-nutupi perbuatan mereka. "Jika ada tentara yang memperkosa seorang perempuan, maka yang melarikan diri akhirnya seluruh anggota keluarga perempuan tersebut. Dengan metode ini, etnis tertentu akan berkurang. Saya mendengar cerita kasus ibu dan anak perempuan, dimana keduanya diperkosa di waktu bersamaan. Mereka dipaksa untuk pindah ke lokasi lain. Suatu malam datang tentara yang memperkosa mereka di saat mereka masih tidur."

Baru-baru ini juga muncul dugaan, bahwa kejahatan seksual secara sistematis ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Michel Roy, pengamat tema pemerkosaan di konflik bersenjata internasional, mengungkap hal tersebut. "Kini semakin jelas. Jika dalam konflik bersenjata banyak perempuan yang diperkosa, maka latar belakangnya biasanya juga akses ke sumber daya alam. Demikian halnya di Birma, di Kolumbia, di Republik Demokratik Kongo dan negara lain. Ini mengenai pemanfaatan sebuah negara, menekan warganya dan mencegah terjadinya perlawanan," ujarnya.

Hseng Noung Lintner sedikit banyak membenarkannya. Ia menjabarkan berbagai rencana pembangunan di Myanmar, antara lain jalur pipa gas yang melewati kawasan etnis minoritas dan tanggul di sungai-sungai untuk mendapatkan listrik bagi kota-kota di Cina dan Myanmar. Agar rencana tersebut terwujud, penduduk di kawasan itu diusir dan ditekan dengan segala cara.

Bulan Maret lalu, untuk pertama kalinya pejabat khusus PBB untuk urusan HAM di Birma, Tomas Ojea Quintana, menuntut secara terbuka pembentukan komisi penyelidikan tentang kasus tersebut.  Hseng Noung Lintner berharap, bahwa dengan adanya komisi tersebut, situasi daramatis para perempuan dari etnis minoritas di Myanmar bisa terungkap.

sumber : Deutsche Welle
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement