Selasa 30 Nov 2010 00:10 WIB

Hillary Clinton Telah Peringatkan Dubes Sebelum Kebocoran WikiLeaks

Rep: Wulan Tunjung Palupi/ Red: Djibril Muhammad
Hillary Clinton
Hillary Clinton

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ternyata telah mengeluarkan peringatan dan mengontak para duta besar Amerika Serikat di seluruh dunia. Ia memperingatkan para diplomat bahwa akan ada rahasia diplomatik yang dibeberkan beberapa hari sebelum dokumen itu benar-benar bocor ke publik.

Gedung Putih pun menyatakan mengutuk pengungkapan dokumen rahasia yang berisi informasi sensitif negara tersebut. Pemerintah AS rupanya sudah mencium kebocoran itu sesaat sebelum WikiLeaks kembali membocorkannya ke media.

Pada Sabtu malam, (27/11) Penasihat hukum Departemen Luar Negeri AS, Harold Hongju Koh, telah mengirim surat kepada seorang pengacara Wikileaks bahwa tindakan mereka ilegal dan bisa membahayakan hidup orang banyak, mengganggu operasi militer dan upaya kontraterorisme dan melemahkan kerjasama internasional melawan proliferasi nuklir dan ancaman lainnya.

Sementara dokumen itu tersebar melalui beberapa media di AS dan Inggris pada Ahad (28/11) waktu Washington.

 Duta Besar AS di Inggris juga telah menerima surat dari pimpinan WikiLeaks, Julian Assange pada Jumat (26/11). Assange menulis jika memang benar ada individu yang secara spesifik terancam bahaya akibat pengungkapan dokumen oleh WikiLeaks, silakan disebut dokumennya.

"Saya sangat berterima kasih pada pemerintah AS jika menyebut nomor dokumen atau nama orang yang dapat terancam bahaya tersebut dan WikiLeaks akan menghormati saran pemerintah AS," tukasnya.

Kawat diplomatik yang dibocorkan sebagian besar adalah komunikasi harian antara Departemen Luar Negeri dan 270 kedutaan besar dan konsulat. Sekali lagi AS menganggap bahwa cara WikiLeaks dengan membocorkan dokumen rahasia negara justru bertentangan dengan upaya memerangi terorisme, mewujudkan proliferasi nuklir dan membahayakan kerjasama yangbaik antar negara untuk mewujudkan perdamaian dunia.

sumber : New York Times
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement