Jumat 10 Dec 2010 08:59 WIB

Survei Korupsi: Dunia Makin Korup

Korupsi
Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID,

 

LONDON--Korupsi ternyata makin mendarah daging di seluruh dunia. Dalam survei yang dilakukan BBC dan Transparency International diperoleh data 56 persen responden survei mengaku negara mereka menjadi lebih korup tahun ini.

"Survei kami menempatkan Afghanistan, Nigeria, Irak dan India sebagai negara terkorup di dunia," demikian Transparency International (TI), dalam rilisnya, Kamis (9/12). Di belakang negara-negara ini menyusul Cina dan Rusia dan negara Timur Tengah lainnya.

Sementara survei dari BBC menyatakan korupsi adalah masalah yang paling banyak dibicarakan oleh warga dunia. Satu dari lima orang yang diwawancara BBC mengatakan mereka memperbincangkan korupsi selama sebulan terakhir.

Topik korupsi mengalahkan topik lainnya seperti perubahan iklim, kemiskinan, pengangguran, dan kenaikan harga sembako dan BBM.

Lembaga apa yang paling korup? Survei TI menempatkan partai politik adalah lembaga terkorup. Dan sebanyak 50 persen responden TI percaya kalau pemerintah negara mereka tidak serius menangani korupsi di partai politik.

Sebanyak satu dari empat responden TI mengaku mereka membayar suap setahun terakhir. Siapa yang paling banyak menerima suap itu? Survei TI menunjukkan aparat polisi lah yang selalu menerima suap terbanyak.

Sebanyak 29 persen uang suap mengalir ke kantong polisi, 20 persen uang suap mengalir ke birokrat pengurus administrasi perizinan, dan 14 persen uang suap mengalir ke pengadilan.

"Ini memprihatinkan. Pengalaman suap menyuap yang dirasakan responden selalu melibatkan polisi," kata Robin Hoddes, direktur TI. Angka persentase suap polisi ini meningkat hampir dua kali lipat sejak 2006.

Negara mana yang rakyatnya paling banyak membayar suap? Survei TI menyebutkan Kamboja dan Liberia menempati peringkat kedua dan pertama. Sebanyak 84 persen rakyat Kamboja dan 89 persen warga Liberia pernah menyuap. Sedangkan di Denmark, tidak ada responden yang mengaku pernah menyuap siapapun.

sumber : BBC
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement