REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA--Hampir selusin negara berkembang, dipimpin Brasil dan India, pekan ini akan menandatangani perjanjian untuk memangkas hambatan tarif dan memperkuat perdagangan di antara mereka, kata pejabat senior Brasil, Senin (13/12) waktu setempat.
Perundingan di bawah Sistem Preferensi Dagang Dunia di antara Negara Berkembang (GSTP) yang diluncurkan pada 2005 dimaksudkan untuk mendiversifikasikan pasar tujuan ekspor dan menurunkan ketergantungan pada negara maju. Sekitar 43 negara menandatangani perjanjian awal GSTP pada 1988 dan 11 negara akan menandatangani perjanjian yang diperbarui di Brasil bagian selatan pekan ini.
Di bawah kesepakatan ini, negara-negara tersebut akan memangkas tarif yang diberlakukan sampai 20 persen dari sekitar 70 persen produk mereka. "Sampai sejauh ini, GSTP tidak penting sama sekali ... perjanjian ini lebih bernuansa politis, kini perjanjian itu akan menjadi instrumen untuk membuka perdagangan," kata Carlos Marcio Cozendey yang memimpin departemen ekonomi pada Kementerian Luar Negeri Brasil pada konferensi pers.
Perjanjian ini mencakup upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dari gabungan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 5triliun dolar AS dan mendekati sepertiga dari populasi dunia. Selain Brasil, negara lain yang akan menandatangani perjanjian ini adalah Argentina, Uruguay, Paraguay, Indonesia, Malaysia, Korsel, Maroko, Mesir, dan China.
Namun kemampuan perjanjian ini untuk menggerakkan arus perdagangan baru yang besar diperkirakan terbatas, karena negara-negara tersebut tetap diberi pengecualian yang signifikan dan tarif tetap mahal jika mereka awalnya menerapkan bea masuk yang tinggi. Sebagai tambahan, beberapa negara juga tidak memiliki hubungan dagang yang layak atau infrastruktur yang memadai untuk memeri insentif baru.
"Perjanjian ini juga memungkinkan mereka untuk melindungi produknya yang sensitif, namun juga memberi mereka sejumlah besar preferensi kecil untuk aturan produk yang besar," kata Cozendey. "Perjanjian ini untuk membuka kesempatan baru, bukannya fokus pada perdagangan yang sudah ada."
Di Brasil, kelompok manufaktur cenderung memperoleh manfaat terhadap akses baru ke pasar di Asia dan di tempat lain yang lebih besar dari petani. Para kritikus mengatakan pemerintahan Presiden Luiz Ignacio Lula da Silva terlalu fokus pada penguatan hubungan dengan negara berkembang lain, dengan mengabaikan mitra tradisional di eropa dan AS.