REPUBLIKA.CO.ID,ABIDJAN - Sekitar 14.000 orang telah meninggalkan Pantai Gading ke tetangganya Liberia, ketika ketakutan meningkat bahwa sengketa pemilihan di negara Afrika Barat itu akan mengobarkan kembali perang saudara. Demikian pernyaatan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Sabtu (25/12) waktu setempat.
Para kepala negara dari blok Masyarakat Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) menambah tekanan dunia terhadap pemimpin penjabat Pantai Gading Laurent Gbagbo untuk menyerahkan kekuasaan pada presiden saingannya, Alassane Ouattara. ECOWAS mengatakan bahwa Quattara dapat menghadapi "kekuatan yang sah" jika Gbagbo menolak (mundur).Itu adalah ancaman langsung pertama intervensi militer asing dalam konflik pemilihan itu, yang telah menewaskan hampir 200 orang sejak pemilihan presiden 28 November lalu.
"UNHCR telah mendaftar seluruhnya 14.000 pengungsi Pantai Gading di Liberia timur, yang melarikan diri segera setelah ketidakstabilan pasca-pemilihan," jelas badan pengungsi PBB itu di jejaring sosialnya."Dengan jumlah mereka meningkat, badan kemanusiaan ini membutuhkan penambahan untuk para pengungsi yang sebagian besar wanita dan anak-anak dan juga warga desa yang menampung mereka."
Kebuntuan politik dan ketakutan akan kekerasan lagi di negara yang masih terbagi setelah perang saudara 2002-2003 itu telah melemahkan perayaan Natal karena warga takut tinggal di rumah."Ini adalah Natal terburuk yang saya alami sejauh ini. Bahkan pada 2002 ketika ada perang, itu lebih baik. Masalahnya sekarang adalah bahwa rakyat telah lelah. Dua presiden, dua pemerintah, semua ini terlalu banyak bagi rakyat,'' kata Saibou Coulibaly, seorang penjual keliling boneka di kota penting Abidjan.
Pernyataan ECOWAS mengatakan blok itu akan mengirim utusan ke Pantai Gading untuk menyampaikan ultimatum pada Gbagbo. ECOWAS tidak menyebutkan secara khusus kapan utusan itu akan dikirim atau siapa yang akan mereka kirim. Para pejabat tidak dapat dihubungi dengan segera untuk dimintai komentar.
AS, PBB, Uni Eropa, Uni Afrika dan ECOWAS semuanya mengakui hasil sementara komisi pemilihan yang menunjukkan Ouattara sebagai pemenang pemilihan. Tapi Gbagbo tidak menunjukkan pertanda akan mundur dan bersikeras ia telah menang dalam pemilihan setelah pengadilan konstitusi, yang dipimpin oleh salah seorang sekutunya, membuang ratusan ribu suara dari para pemilih pro-Ouattara.
Konflik itu berubah menjadi kekerasan pekan lalu dengan bentrokan senjata singkat antara pasukan pemerintah yang setia pada Gbagbo dan gerilyawan yang sekarang mendukung Ouattara. PBB dan kelompok-kelompok HAM melaporkan sejumlah pria bersenjata sekarang menyerang lingkungan-lingkungan permukiman pro-Ouattara pada waktu malam, menculik dan membunuh orang.