REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Apa sebenarnya yang berkecamuk dalam benak para tentara Zionis ketika mereka menyerbu, membajak, menculik, menangkapi, menyiksa dan membunuh rakyat Palestina, lelaki dan perempuan, tua dan muda?
Peraturan keras kemiliteran mencegah para serdadu buka mulut. Namun sejumlah mantan tentara Israel berkumpul, menyebut diri mereka kelompok “Breaking the Silence” (memecah kebisuan), mulai 'bernyanyi' tentang bagaimana mereka belajar menjadi brutal dari para seniornya.
‘Nyanyian’ mereka dikumpulkan lalu ditulis menjadi sebuah buku berjudul sama, Breaking the Silence, oleh seorang peneliti bernama Avichay Stolar. Ini adalah beberapa kisah mereka.
Para serdadu Zionis di Brigade Givati, misalnya, bertutur tentang sebuah operasi militer di suatu pagi buta di Gaza pada tahun 2008. Mereka mengetuk pintu rumah sebuah keluarga Palestina, lalu ketika menurut mereka terlalu lama tidak dibuka, maka mereka melakukan fox – sebuah jargon militer Zionis yang berarti “penghancuran.”
Di balik pintu rumah yang kemudian hancur berkeping-keping, mereka dapati serpihan kaki dan tangan dan darah yang muncrat lalu melekat di dinding. Itulah serpihan tubuh si ibu pemilik rumah yang “tak sengaja” mereka ledakkan, demikian seorang serdadu mengenang.
“Lalu anak-anaknya berdatangan (dari dalam kamar) melihat ibu mereka,” tutur si serdadu. “Pada waktu makan malam sesudah itu, saya mendengar (teman-teman serdadu) tertawa terbahak-bahak saat menceritakan peristiwa ‘lucu’ ketika anak-anak kecil itu mendekat ke pintu dan melihat serpihan tubuh dan darah ibu mereka yang melekat di dinding.”
Donald MacIntyre, wartawan harian Ingris the Independent di Al-Quds, me-review buku tersebut dan menulis, “(Dalam buku itu) tak ada nama, tanggal dan detil lain disebut. Tapi saya ingat peristiwa kematian seorang warga Palestina, guru sebuah sekolah milik PBB di timur Khan Younis. Wafir Syakir al-Daghma dibunuh saat penyerbuan paksa rumahnya oleh militer Zionis. Ketika itu suaminya sedang tidak di rumah…”
McIntyre menceritakan bahwa lima hari sesudah kematian Wafir, dia dan para wartawan lain datang berkunjung, dan suami Majdi menuturkan betapa isterinya yang baru berusia 34 tahun itu memerintahkan anak-anak mereka untuk masuk ke dalam kamar sementara dia bergegas memakai jilbabnya, sebelum beranjak untuk membukakan pintu. Saat itulah pintu diledakkan.
Si sulung Samira, 13 tahun, mendengar suara ledakan hebat dan mengintip ke arah asap yang mengepul. Dia keluar dari kamar, meninggalkan Roba, 4 tahun, dan Qusay, 2 tahun, untuk mencari ibunya – namun tak menjumpainya.
Menurut McIntyre, para serdadu itu lalu berinisiatif menutupi jenazah Wafir dengan karpet dan bertahan selama lima jam dalam rumah itu. Selama itu pulalah mereka mengurung ketiga anak kecil itu di dalam kamar. Samira mencoba bertanya kepada salah seorang serdadu, “Mana ibuku?” namun si kecil Samira tak paham jawaban yang ia terima dalam bahasa Ibrani.
Sesudah lewat tengah malam, ketika para serdadu sudah meninggalkan rumahnya, Samira mengintip keluar dan melihat masih banyak tank berseliweran di luar. “Saya mencoba menelpon Ayah dengan handphone Ibu tapi tak ada sinyal. Saya melihat gulungan karpet. Saya coba angkat, dan sekilas kulihat potongan baju ibu. Ibu sudah tidak bergerak dan kepalanya tak ada…”
Ada banyak kisah serupa di dalam buku ini, penuturan langsung mereka yang terlibat dalam penjajahan selama 43 tahun (sejak 1967).
Sejak dibentuk tahun 2004, Breaking the Silence telah mengumpulkan 700 kesaksian para serdadu Zionis dalam kurun waktu 10 tahun sejak dimulainya Intifada Dua. Juli 2009, mereka menerbitkan kesaksian 30 orang prajurit tempur Zionis yang terlibat dalam penggempuran Gaza selama 23 hari pada pergantian tahun 2008 dan 2009.
Angkatan Bersenjata Zionis tentu saja tidak menerima kesaksian-kesaksian kekejaman para serdadunya itu, dengan alasan bahwa mereka yang bersaksi itu tidak menyertakan identitas mereka. Namun kini, untuk pertama kalinya, lewat Breaking the Silence, 27 dari para serdadu yang bersaksi itu membolehkan fotografer the Independent di Al-Quds, Quique Kierszenbaum, memotret wajah mereka, menyebut nama mereka
beserta alasan mengapa mereka memberikan kesaksian.
Buku ini dipublikasikan dalam bahasa Ibrani tanggal 21 Desember lalu, dan direncanakan akan diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun depan.
Menurut McIntyre, buku ini menjelaskan secara rinci empat istilah penting dalam berbagai aksi militer Zionisme. Sikkul (bahasa Ibrani yang berarti ‘pencegahan’) yang sebenarnya merupakan berbagai tindakan untuk menciutkan nyali warga Palestina – termasuk dengan seenaknya melemparkan granat suara ke jalan-jalan, menyerbu rumah-rumah tanpa alasan, atau mengikatkan seorang warga Palestina ke sebuah mobil yang lalu dipakai berkeliling ke berbagai wilayah Palestina.
Hafradah alias pengisolasian warga Palestina bukan saja dari warga “Israel” tapi juga dari sesama warga Palestina lewat pendirian berbagai pos pemeriksaan, perintang-perintang jalan, dan tentu saja tembok pemisah setinggi 8-10 meter yang menjepit habis berbagai desa Palestina. Seorang warga desa di Nablus, misalnya, tak bisa berkunjung ke desa tetangga selama empat tahun ini karena tembok penghalang itu.
Mirkam hayyim adalah istilah yang dipakai penjajah Zionis untuk menggambarkan betapa mereka merekayasa kehidupan warga Palestina sedemikian rupa sehingga sepenuhnya tergantung kepada pihak penjajah. Mulai dari arus masuk dan keluar barang dan manusia dari satu kawasan ke kawasan lain, pengurusan izin tinggal, bisnis, sekolah, transportasi, pengobatan dan sebagainya.
Contohnya, seorang warga Palestina pengemudi truk yang membawa container penuh berisi susu dari Yatta menuju Al-Khalil tiba-tiba saja ditahan, diborgol dan matanya ditutup sejak pagi terik sampai malam. Ketika dia dilepaskan, 2 ribu liter susu sudah basi. Seorang mantan serdadu yang menceritakan perannya dalam penangkapan itu berkata, “Sekarang bila saya ingat hal itu, saya malu…apakah tindakan (menahan si supir dan menyebabkan 2000 liter susu rusak) itu ada manfaatnya bagi keamanan negara? Tidak ada.”
Contoh-contoh lain adalah perlakuan kepada para pekerja “ilegal” Palestina dan keluarga mereka dari Tepi Barat yang akan pergi ke Wadi Ara di “Israel” bagian utara. Seorang mantan serdadu Zionis mengenang “[Kami] menumpahkan semua isi tas anak-anak dan kami bermain dengan mainan mereka….Anak-anak itu menangis dan ketakutan.”
Bagaimana dengan orang tua mereka, menangis jugakah? “Tentu saja. Salah satu tujuan kami adalah saya harus membuatnya menangis di depan anak-anaknya, saya harus membuatnya seperti sampah di depan anak-anaknya…seringnya dengan cara dipukuli.”
Lalu, akhifat hak atau “penegakan hukum.” Buku ini menyoroti dualitas hukum rezim di Tepi Barat, di mana rakyat Palestina harus tunduk kepada aturan dan mahkamah militer, sementara para pemukim Yahudi hanya berurusan dengan pengadilan sipil. Sementara, pada saat yang sama, ungkap buku tersebut, para pemukim Yahudi itu bersekongkol dengan militer – karena musuh mereka sama yakni warga Palestina.