REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL--Pemerintah Korea Selatan Senin (10/1) menyatakan dengan tegas bahwa pihaknya ogah berdialog dengan pemerintah korea Utara. Hal itu terlihat dari ditolaknya tawaran dialog terbaru dari Korea Utara. Selain itu, pihak Korsel mengungkapkan bahwa sebuah negara harus dinilai berdasarkan tindakan nyata bukan sebatas kata-kata.
Korut membuat penawaran resmi pada Sabtu untuk sebuah pembicaraan pembukaan dan tanpa syarat dalam beberapa minggu ke depan. Tawaran terbaru tersebut diikuti dengan redanya ketegangan di Semenanjung Korea, yang sempat memuncak kala Korut membombardir sebuah pulau di perbatasan Korsel pada 23 November serta menewaskan empat orang, termasuk warga sipil.
Namun Kementerian Urusan Unifikasi Korsel, yang menangani hubungan lintas perbatasan, menolak upaya terbaru Korut untuk memulihkan ketegangan itu. "Sulit menilai apakah tawaran dialog itu merupakan sesuatu yang tulus atau bukan, pertama-tama Korut sebaiknya menunjukkan dulu keseriusannya tentang denuklirisasi," kata juru bicara kementerian Chun Hae-Sung.
"Korea Utara harus mengambil langkah bertanggung jawab yang dapat diterima warga kami terkait pembombardiran November dan penenggelaman kapal Korsel pada Maret tahun lalu," katanya. "Pintu dialog akan terbuka bila Korut telah menunjukkan sikap yang tulus," katanya. Korsel mengatakan bahwa Korut menembakkan torpedo ke kapal mereka di perairan sengketa dekat perbatasan Laut Kuning yang merengut 46 nyawa, sebuah tuduhan yang dibantah Pyongyang.
Ketegangan antar kedua negara semakin akut sejak aksi bombardir Korut yang merupakan serangan pertama terhadap wilayah sipil Korsel sejak perang kedua negara pada 1950-1953. Korsel telah menggelar sejumlah latihan militer sebagai aksi balasan dan unjuk kekuatan. Komite untuk Reunifikasi Perdamaian Ibu Pertiwi di Pyongyang pada Sabtu mengatakan tidak ada syarat yang diajukan Korut untuk dialog tersebut sehingga tidak perlu ada keraguan atas kesungguhan niat mereka.