REPUBLIKA.CO.ID, Malam mencekam Demonstrasi menuntut mundur kian menjadi-jadi ketika Ben Ali, yang telah berkuasa selama lima periode itu Jumat (14/1) lalu memberlakukan jam malam setelah bentrokan beberapa pekan makin menyebar di segenap penjuru ibu kota Tunis, bahkan melibatkan kaum wanita.
Sebelum meletus menjadi besar, pekan lalu kementerian pendidikan menetapkan penutupan sementara sekolah-sekolah dan universitas-universitas, menyusul tewasnya sembilan pelajar dan mahasiswa pada 11 Januari saat kekacauan memasuki pekan ketiga.
Para petugas keamanan menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi yang memenuhi jalan-jalan ibu kota, namun unjuk rasa kian menjalar ke seluruh Tunis. Pada akhirnya, Presiden Ben Ali memutuskan membubarkan pemerintahnya pada Jumat, dan berjanji akan menyelenggarakan pemilu legislatif dalam tempo enam bulan ke depan dan pemerintah mengumumkan negara dalam darurat.
Kerusuhan dan aksi protes yang mendapat hadangan pihak keamanan itu menyebabkan setidaknya 23 orang tewas, sejumlah lainnya cedera. Para pengamat mencatat kerusuhan tersebut terparah selama sekitar dua dasa warsa terakhir, saat Presiden Ben Ali berkuasa.
Untuk meredam kemarahan rakyatnya, Ben Ali dalam suatu pidato menegaskan dia tidak akan berusaha untuk dipilih kembali sebagai presiden periode keenam, pada pemilu 2014. Dalam pidato itu dia minta polisi berhenti menggunakan senjata tajam untuk menghadapi pemrotes.
Dia juga berjanji akan menstabilkan harga-harga barang kebutuhan sehari-hari yang menjadi pemicu kenaikan harga dan meletusnya aksi massa. Tetapi kalangan oposisi menyebut pidato tersebut merupakan berita yang tak diharapkan.
Ben Ali, presiden kedua setelah Tunisia merdeka dari Prancis pada 1956, dianggap bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat dan jumlah pengangguran yang tak teratasi. Dan massa tampaknya tak bergeming dengan ikrarnya akan membentuk 300.000 lapangan kerja baru pada akhir tahun ini.
Pada malam yang mencekam itu sejumlah televisi Arab terpaksa menghentikan acara regulernya untuk menyiarkan laporan dari detik ke detik situasi di Tunisia. Beberapa televisi seperti Al-Jazeera dan Nile TV sempat berspekulasi bahwa pesawat yang membawa Ben Ali dan keluarganya di malam buta itu mendarat di sebuah negara Eropa, namun tak lama kemudian Arab Saudi mengonfirmasi bahwa presiden terguling telah tiba di Arab Saudi pada Sabtu (15/1) dini hari.