Rabu 19 Jan 2011 06:00 WIB

Empat Menteri Mengundurkan Diri, Kabinet Baru Tunisia Terancam Bubar

Presiden baru Tunisia, Fouad Mebazaa (kiri) dan Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi menghadiri pelantikan kabinet baru, Selasa (18/1). AP
Foto: AP
Presiden baru Tunisia, Fouad Mebazaa (kiri) dan Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi menghadiri pelantikan kabinet baru, Selasa (18/1). AP

REPUBLIKA.CO.ID,Pemerintahan koalisi baru Tunisia goyah hanya sehari setelah pembentukannya diumumkan. Empat menteri mengundurkan diri dan satu partai oposisi mengancam untuk 'walk out'.

 

Abid al-Briki dari serikat buruh Tunisia UGTT mengatakan, ketiga menterinya mundur karena pemerintahan baru masih melibatkan anggota dari partai presiden yang digulingkan Zine al Abidin Ben Ali, RCD. Menteri kesehatan dari pihak oposisi Mustafa Ben Jafar juga berhenti karena alasan yang sama.

Sebelumnya, kantor berita TAP melaporkan, bahwa partai RCD telah mencabut keanggotaan Ben Ali dan enam orang terdekatnya. Stasiun televisi resmi pemerintahan kemudian memberitakan, bahwa presiden dan perdana menteri Tunisia keluar dari partai RCD, yang merupakan partai Ben Ali, untuk memenuhi tuntutan politisi oposisi dan pimpinan serikat yang mengancam akan menggulingkan pemerintahan transisi tersebut.

Namun, Fuad Mebazaa dan Mohamed Ghannouchi tetap menjabat sebagai puncak kepemimpinan Tunisia. Langkah ini diharapkan bisa menyelamatkan pemerintahan transisi, setelah ribuan demonstran menolak susunan kabinet baru dan menuntut partai RCD yang berkuasa untuk mundur. Tetapi, berita yang muncul kemudian adalah serikat buruh Tunisia UGTT tetap tidak akan bergabung dengan pemerintahan transisi.

Briki mengatakan kepada kantor berita Reuters melalui telepon, bahwa tuntutan utamanya adalah pemerintahan baru tidak melibatkan satu menteri pun yang telah menjadi menteri di pemerintahan sebelumnya. Ini tidak termasuk Mohamed Ghannoucchi, yang memang diminta oleh mahkamah konstitusi untuk membentuk pemerintahan baru.

Kemarahan terhadap susunan kabinet baru juga tercermin di ibukota Tunis. Ribuan demonstran kembali turun ke jalanan Selasa kemarin (18/01). Polisi anti huru hara menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan yang dipimpin oleh oleh tokoh Islam Sadok Chourou yang pernah dipenjara selama 20 tahun oleh rezim lama.

Chorou yang dulunya ketua gerakan Islamis populer Ennahdha mengatakan kepada kantor berita AFP, pemerintahan yang baru tidak mewakili rakyat dan harus dihentikan. Hussein Djaziri, juru bicara gerakan Ennahdha mendukung pernyataan Chourou.

"Rezim lama lah yang menentukan siapa yang boleh terlibat dan siapa yang tidak boleh. Ini bukan yang kami inginkan. Rakyat Tunisia turun ke jalanan. Tetapi mereka tidak dimengerti dan tidak didengarkan. Mereka yang berada di jajaran atas tetap orang-orang dari rezim lama."

Perdana menteri Ghannouchi menolak tuduhan bahwa 'kediktatoran' Ben Ali akan diteruskan dalam kabinet baru. Menteri luar negeri Tunisia Kamel Morjane, dalam kunjungannya ke Mesir mengatakan, pemerintahan transisi akan merespon masalah yang membuat marah para demonstran dan mempersiapkan pemilu berikutnya.

Menurut Morjane, ada kemungkinan bahwa pemerintahan Tunisia berikutnya tidak akan terdiri dari satu pun anggota kabinet transisi. Serangkaian serangan protes di Tunisia mempengaruhi pasar bursa dan nilai mata uang negara-negara kawasan Maghreb lainnya, mulai dari Yordania hingga Marokko, karena muncul kekhawatiran bahwa kerusuhan tersebut akan menyebar ke negara-negara tetangga.

sumber : dw-wFP/reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement