REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Mengantisipasi kondisi dalam negeri kian buruk, Presiden Mesir Hosni Mubarak mengungsikan keluargannya ke Inggris. Kabar kepergiaan keluarga presiden dan juga anaknya, Gamal Mubarak, diketahui usai pecahnya aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi di negara tersebut.
Keluarga Mubarak pergi ke Inggris melalui bandara di bagian barat Kairo, Mesir, Selasa (25/1). Putra sulungnya, Gamal Mubarak, yang kini menduduki posisi strategis sebagai asisten sekretaris jenderal dan kepala kebijakan politik partai berkuasa Demokratik Nasional (National Democratic Party/NDP) pimpinan Presiden Mubarak, disebut-sebut bakal menggantikan ayahnya memimpin negeri berpenduduk 80 juta jiwa tersebut.
Politik Mesir saat ini dalam suasa panas sejak pemilihan parlemen pada November 2010 lalu yang disapu bersih oleh partai berkuasa. Partai oposisi dalam pemilihan anggota parlemen tersebut hanya kebagian 15 persen dari 508 kursi yang diperebutkan.
Parlemen selanjutnya akan memilih presiden pada November 2011. Presiden Mubarak (83) --yang telah berkuasa selama 30 tahun-- sejauh ini belum menentukan sikap apakah akan mencalonkan diri atau tidak dalam pemilihan presiden itu. Atas dasar itulah gelombang aksi besar-besaran berlangsung di Mesir.
Selain itu, gelombang unjuk rasa juga dipicu aksi yang sama di negara tetangga, Tunisia, yang sukses menumbangkan Presiden Zine Al Abidin Bin Ali dua pekan lalu.
Sejumlah kota di Mesir pada Selasa dilanda aksi unjuk rasa. Sedikitnya dua orang tewas akibat bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan. Keduanya tewas di kota Suez dan beberapa orang lagi luka-luka, kata pihak keamanan setempat, Rabu (26/1).
Pada Selasa (25/1) malam, polisi berupaya membubarkan ribuan orang berunjuk rasa di Bundaran Tahrir, pusat kota Kairo, yang meneriakkan yel-yel anti-Presiden Hosni Mubarak. Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa yang hendak menuju ke gedung parlemen di dekat Bundaran Tahrir. Sejumlah orang termasuk beberapa polisi cedera dalam bentrokan di Bundaran Tahrir tersebut.