Kamis 27 Jan 2011 10:03 WIB

Pembagian Yerusalem, Alasan Utama Macetnya Perundingan Israel-Palestina

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Anak-anak palestina bermain bola di dekat permukiman Yahudi di Yerusalem Timur.
Foto: Reuters
Anak-anak palestina bermain bola di dekat permukiman Yahudi di Yerusalem Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI - Perundingan damai antara Israel-Palestina yang macet rupanya dominan terkait nasib Yerussalem. Dalam pertemuan segitiga antara Palestina, Israel dan AS tahun 2008, Palestina secara tegas meminta konsesi lahan di Yerusalem Timur. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Israel.

Negosiator ternama Palestina, Ahmed Qurei dalam pertemuan yang dihadiri Mantan Menteri Luar Neger Israel, Tzipi Livni dan Mantan Menteri Luar Negeri AS, Condoleezza Rice mengatakan Israel boleh membangun permukiman Yahudi di Yerussalem kecuali Jabal Abu Ghneum (Har Homa).

"Permintaan ini merupakan yang pertama bagi kami. Hal itu yang tidak kami lakukan di Camp David," papar Qurei seperti dikutip dari Alarabiya, Rabu (26/1). Qurei mengatakan Palestina menolak keberadaan pemukiman Yahudi yang dibangun pada daerah Ma'ale Adnumin, Ariel, Emphrat, dan Har Homa.

Qurei mengatakan meski sudah diingatkan, pihak Israel tetap saja membangun pemukiman Yahudi. "Kemarin, Menteri Perumahan Israel, Ze'ev Boim mengumumkan rencana membangung 1300 rumah yang berlokasi di Beit Hanina guna menyambung dengan pemukiman di  Giv'at Ze'ev, Yerussalem. Ini bukan cara yang tepat mencapai kemajuan dalam negosiasi," imbuh Qurei.

Pengembalian hak tanah Palestina di Yerussalem merupakan isu yang sangat sensitif karena sangat penting tidak hanya bagi rakyat Palestina tetapi bagi umat Islam di seluruh dunia. Bagi Muslim, Yerusalem merupakan salah satu tempat suci. Karena di kota tersebut, Nabi Muhammad sempat singgah sebelum menuju ke surga sebagaimana yang diterangkan dalam Alquran.

Kepada delegasi AS, Mantan Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni mengatakan pihaknya memutuskan untuk konsisten menolak solusi dua negara yang didasarkan perbatasan tahun 1967. Solusi itu seharusnya merujuk pada kenyataan di lapangan. "Masalahnya sekarang, bangsa Palestina tidak akan menerima wilayah yang sudah menjadi bagian Israel," paparnya.

Berdasarkan fakta yang terungkap dalam dokumen resmi yang dipublikasi  Al Arabiya, pada pertemuan di King David Hotel, Yerusalem Barat, 12 Maret 2008, Israel menolak menerima syarat Palestina yang merujuk perbatasan 1967. Dalam dokumen lain,   mantan PM Israel Ehud Olmert menawarkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas kesepakatan yang akan menjaga kedaulatan Israel di beberapa daerah di Tepi Barat. Namun,  kesepakatan itu mempersempit solusi dua negara yang begitu dihindari Israel.

Amerika Serikat, Senin lalu, mengakui dokumentasi resmi yang dipublikasikan membuat situasi Timur Tengah "lebih sulit,". Meski begitu, AS optimimis kesepakatan damai tetap berlanjut. Secara terpisah, Pemimpin PLO, Yasser Abed Rabbo, Senin lalu, mengecam fakta yang terungkap dalam dokumen. Dia mengatakan fakta-fakta yang tertuang dalam dokumen di luar konteks dan Palestina tidak pernah mengirimkan negosiator.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement