REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV - Setelah Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, terendus melakukan pembicaraan rahasia dengan koleganya di kabinet AS, kini giliran Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengingatkan Eropa.
Dalam pertemuan dengan Kanselir Jerman Angela Merkel di Jerusalem, ia menyatakan bahwa pergolakan di Mesir bisa membawa kekuatan Islam radikal kembali pada tampuk kekuasaan, mengulang skenario yang terjadi selama revolusi Iran pada tahun 1979.
Netanyahu menyampaikan pesan yang sama dalam percakapan telepon dengan Presiden AS Barack Obama pada Sabtu malam, dan dalam percakapan dengan para pemimpin dunia lainnya dalam beberapa hari terakhir.
Selama pertemuan dengan Merkel, dan dalam konferensi pers berikutnya, Netanyahu menekankan dua poin ke Barat. Pertama adalah pesan bahwa Islam radikal dapat mengambil alih Mesir, dan kedua, kenyataan bahwa Israel adalah satu-satunya negara yang stabil di Timur Tengah dan oleh karena itu Barat harus memperkuat hubungan dengan negaranya.
"Kami adalah terstabil di wilayah ini," kata Netanyahu pada Merkel. "Perhatian kami adalah bahwa ketika ada perubahan yang cepat, tanpa semua aspek dari sebuah demokrasi modern terlibat, amaka pa yang akan terjadi - dan telah terjadi di Iran - akan munculnya rezim opresif Islam radikal," kata Netanyahu.
Ia menyatakan bila hal ini tak dicegah, maka akan lahir sebuah rezim yang akan menghancurkan hak asasi manusia dan tidak akan membiarkan demokrasi atau kebebasan. "Ini akan merupakan ancaman bagi perdamaian," tambah perdana menteri.
Pada Minggu malam Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle bertemu Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman di Tel Aviv.
"Israel adalah satu-satunya negara yang menerapkan demokrasi di wilayah tersebut dan oleh karena itu penting untuk meningkatkan aliansi kami," kata Westerwelle.