REPUBLIKA.CO.ID,Memasuki hari kesembilan krisis di Mesir, Presiden Hosni Mubarak masih mencoba bertahan di tengah ancaman aksi sejuta demonstran di Lapangan Tahrir di Kairo. Posisinya mengingatkan kita pada Presiden Soeharto di tengah pergolakan di Jakarta, hampir tiga belas tahun lalu.
Mubarak mengendalikan tentara yang menjadi harapan terakhirnya. Pada pertengahan Mei tahun '98, Soeharto juga tiba pada titik serupa, tapi dia cepat tanggap. Dia merebut momentum, dengan -kami kutip- “memutuskan berhenti”. Dengan demikian, dia dapat menjaga pengaruhnya.
Domino pergolakan Arab yang berawal di Tunis, hanya bergulir karena ada kondisi serupa. Dalam posisi strategisnya, Mubarak memanfaatkan kepentingan adidaya dan sekutunya di Timur Tengah, seperti Soeharto di Asia Tenggara.
Mundur saja
Dan, di masa akhirnya, para diktator sering mengalami momentum hari ke hari, yang hampir serupa. Senada dengan Menlu Madeleine Albright tahun '98 kepada Soeharto, kini Hillary Clinton pun mengirim pesan, mengharapkan perubahan yang damai, dan demokratis - isyarat yang jelas agar Mubarak cepat mengambil langkah yang tepat, yaitu mundur.
Seperti Soeharto, Mubarak juga mencoba bertahan. Dia mengangkat Wapres, kabinet baru dan mengatur agar tentara bertindak tertib. Tiga belas tahun silam, di tengah kunjungannya di Kairo, Soeharto menangkap isyarat dari pergolakan di tanah air.
“Kalau tidak dipercaya lagi, saya akan lengser sebagai Pandito Ratu,” katanya. Dan, sesuai keinginan Soeharto, Menlu Ali Alatas menjelaskan, “Kalau ada perubahan, perubahan akan berlangsung konstitusional”.
Tiba di Jakarta, Soeharto ternyata disambut pergolakan yang makin panas. Demonstrasi meluas, sejumlah pertokoan dibakar, perempuan diperkosa, ratusan warga mati dipanggang, miliaran harta benda musnah, dan sejumlah mahasiswa ditembak.
Merasa dikhianati
Soeharto menawarkan Kabinet Reformasi, tapi dia merasa dikhianati sejumlah menteri dan menantunya yang mengendalikan aparat militer strategis. Sehari setelah puncak kerusuhan, pada 15 Mei, dia memanggil enam tokoh masyarakat, termasuk Nurcholisch Madjid dan Emha Ainun Najib.
Tiga hari kemudian, 18 Mei, mereka mengimbau Presiden Soeharto agar mundur. “Gak patekhen!” seru Soeharto dalam bahasa Jawa bahwa dia tidak ingin terus-menerus jadi presiden. Tiga hari kemudian, 21 Mei, dia menyatakan “memutuskan berhenti”.
Kini, dua minggu setelah pergolakan di Tunisia, Mubarak, dalam momentum serupa, harus menarik Polisi Keamanan yang dibenci publik, dan membentuk pemerintahan baru. Sejak merdeka, dari Gamal Abdel Nasser, Anwar Sadat hingga Mubarak, Mesir dipimpin militer.
Tentara, menjadi konglomerat ekonomi, dan citranya lebih baik ketimbang polisi. Dia kini menjadi tumpuan Mubarak dan Wapres barunya, yang juga berasal dari Angkatan Udara.
Berbeda jalan
Mubarak dan Soeharto - keduanya boleh jadi sama licin dan licik - namun berbeda jalan. Di atas pengorbanan sekitar seribu nyawa di bulan Mei tahun '98 itu, Soeharto tidak memilih hengkang atau pun mundur, melainkan minggir. Dia “berhenti”, karena yakin bahwa pengaruhnya masih kuat.
Isyarat yang menjanjikan “perubahan konstitusional”, dilibasnya sendiri. Dia gusar karena menantunya, Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto, gagal mencegah demonstrasi meluap ke Senayan. Dan terutama gusar, karena Wapres B.J. Habibie mengambil jalan konstitusional dengan menyanggupi menjadi Presiden baru.
Mubarak tak perlu mengalami semua itu, karena dia berhasil menyembunyikan para perwiranya di balik tirai politik. Tapi nasibnya di tangan tentara.
Sebaliknya Soeharto mengandalkan elit tentaranya yang duduk di pemerintahan, parlemen, partai kuasa Golkar, dan dunia bisnis seputarnya. Berbeda dengan Mubarak, Soeharto mewariskan tentara yang terbelah ketika Prabowo, seperti diungkap buku Habibie dan Sintong Panjaitan, mencoba melakukan kudeta.
Diktator beruntung
Meski pun reformasi akhirnya menggusur tentara dari privilesenya, namun Soeharto tetap mampu menjaga pengaruhnya. Gerakan protes yang menentangnya pun tak pernah mengguncang aparat intelejensnya seperti terjadi di negara negara komunis Eropa.
Soeharto tak perlu hengkang dan tak pernah diseret ke meja hijau. Seperti diktator Chile, Augusto Pinochet, dia menjadi diktator paling beruntung, karena tutup usia dengan privilese yang terjaga. Satu hal yang tak mungkin akan dialami Hosni Mubarak.