REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Politik di Timur Tengah terus bergejolak pascarevolusi melati di Tunisia yang berhasil menggulingkan Presiden Ben Ali. Kini demonstrasi serupa, menuntut presiden mundur, juga dialami Mesir, Yaman, dan sejumlah negara lainnya.
Umumnya, rakyat murka pada pemimpin mereka yang sudah terlalu lama duduk di kursi penguasa, dan meninggalkan rakyat di bawahnya makin jelata. Kapan para diktator ini menyadari kalau mereka harus hengkang?
Menurut Radio Nederland Worldwide, rata-rata, kondisi politik di negara-negara itu adalah: oposisi dibungkam, dipenjara atau “dibereskan” dengan cara lain. Adanya pengkultusan individu yang nampak dari spanduk, poster, patung dengan wajah tersenyum kepada rakyat.
Mengapa diktator satu berhasil mempertahankan kedudukan dan yang lainnya tidak? Ada beberapa faktor. Salah satu pendukung terpenting diktator adalah tentara. Seorang pemimpin yang tak berhasil mengontrol militer akan kehilangan kekuasaannya.
Diktator Tunisia Ben Ali memerintahkan tentara menembakki pengunjuk rasa. Namun para pemimpin militer menolaknya. Seringkali diktator sendiri berasal dari kalangan tentara yang memperbesar legitimasinya dalam dunia militer.
Kolonel Khadafi, pemimpin Libya misalnya, berkuasa sejak 1970 dengan bantuan tentara. Hal yang sama terjadi pada Generalismo Francisco Franco, yang sejak 1939 sampai kematiannya pada 1979 memimpin Spanyol. Ia juga berlatar belakang militer. Dan jangan dilupakan, Fidel Castro. Dengan kaum revolusioner lainnya, El Comandante ini berhasil menggulingkan kekuasaan diktator terdahulunya - Fulgencio Batista – pada 1959.
Jika seorang diktator tidak digulingkan oleh pasukannya sendiri, masih ada serbuan tentara. Keinginan menaklukkan sang diktator, kericuhan di perbatasan, dan kaum oposisi terbuang yang memberontak.
Ada banyak alasan mengapa tentara menyerbu sebuah negara. Diktator Uganda Idi Amin, awalnya menyerbu Tanzania, namun di tahun 1979 digulingkan tentara negara itu dengan bantuan pasukan gerilya Uganda. Vietnam menyerbu diktator Pol Pot tahun 1978 dan berhasil mengusir Khmer Merah.
Menyumpal suara rakyat paling mudah dilakukan lewat makanan dan minuman. Para diktator tahu betul cara ini. Mereka menyediakan makanan dan permainan untuk membuat rakyat tetap tenang. 'Kesejahteraan' adalah faktor penting bagi seorang diktator untuk tetap berkuasa. Para pemimpin politik di negara-negara Teluk juga tahu, rakyat puas karena kesejahteraan terjamin.
Di Mesir dan Tunisia, kenaikan harga BBM dan bahan pangan memancing protes massal selama beberapa hari terakhir. Pemberontakan rakyat saja seringkali tidak cukup. Ini masih bisa dihalau, seperti protes mahasiswa Cina di Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Faktor ketiga adalah 'legitimasi' negara lain. Seorang diktator, bagaimana pun juga, dipandang tidak sah di mata demokrasi. Namun, para pemimpin negara demokrasi ternyata tidak punya masalah untuk berbisnis dengan para diktator.
Bagi Amerika, Husni Mubarak adalah pemimpin sah Mesir selama berpuluh-puluh tahun. Amerika membantu mengucurkan jutaan dolar untuk menjamin para diktator Mesir dan Tunisia tersebut tetap berkuasa.
Yang keempat adalah 'penerus tahta'. Presiden Suriah Hafiz al-Assad digantikan oleh putranya Bashr al-Assad. Di Korea Utara Kim Jong-un siap menggantikan posisi ayahnya Kim Jong-il. Jong-il juga tadinya menggantikan ayahnya, Kim Il-sung.