REPUBLIKA.CO.ID,AMMAN--Setelah Tunisia dan Mesir, krisis perpolitikan kini menjamah kawasan Timur Tengah. Adalah negara Kerajaan Yordania yang dilanda ketidakpastian politik memnyusul protes sejumlah warga terdap pemerintah. Protes yang berlangsung pada akhir Januari lalu berujung dengan digantinya Perdana Menteri Samir Rifai.
Guna mengantisipasi tuntutan masyarakat, Raja Yordaian, Abdullah menunjuk seorang pejabat militer dari kubu moderat, Marouf Bakhit menggantikan Rifai. Penunjukan Bakhit ternyata tidak memuaskan massa oposisi. Sang Perdana Menteri baru dicap bagian dari status quo dan dituding berperan dalam kecurangan pemilu tahun 2007.
Para analis Timur Tengah memandang penunjukan Bakhit tidak lantas menghentikan segala tuntutan. Hanya sebagian moderat yang sepaham dengan langkah pemerintah. Padahal Raja Abdullah memerlukan dukungan yang lebih luas dari masyarakat, terutama kalangan keturunan dan imigran Palestina.
“Dengan menunjuk Bakhit, pemerintah mencoba menenangkan konstituen yang sangat berperan dalam mempertahankan sistem pemerintahan tradisional. Pemerintah coba menenangkan mereka yang merasa terancam dengan liberlasasi ekonomi dan perdagangan bebas,” kata pengamat pengamat politik Yordania, Mohammad Masri.
Penunjukan Bakhit diyakini para pengamat tidak akan mengubah “keharmonisan” hubungan Yordania dengan Israel. Hal inilah yang kemudian memantik ketidakpuasan kalangan oposisi islam dan kalangan keturunan Palestina.
Ketidakpuasan masyarakat keturunan Palestina ini dikhawatirkan pengamat akan menganggu stabilitas politik. Ini karena jumlah mereka yang mendominasi komposisi penduduk di Yordania.
“Tuntutan mereka (keturunan Palestina) tidak hanya soal pergantian perdana menteri tapi juga suatu hal yang lebih luas dalam kegiatan bernegara. Ekonomi, kebijakan luar negeri, dan juga politik. Masyarakat ingin reformasi yang lebih luas,” kata Masri.
Walau begitu, tuntutan reformasi dari massa belum menyentuh level Kerajaan. Berbeda dengan aksi di Tunisia dan Mesir yang ditujukan pada pemimpin negara, demonstranYordania belum menjadikan Raja Abdullah sebagai target untuk digulingkan.“Memang belum ada arah tuntutan yang menggugat sistem monarki. Tapi monarki bukan sistem kekal yang dapat bertahan selamanya,” kata ahli masalah Timur tengah Mustafa Hamarneh.
Belum adanya tuntutan pada kerajaan, bukan berarti Raja Abdullah berada di kursi nyaman. Adanya perlawanan pada pemerintah dan perdana Menteri terpilih menandakan bibit pemberontakan telah mulai muncul di negara arab yang terkenal dekat dengan Israel itu.
Hamarneh mengaku pesimis dengan Bakhit yang dinilai tidak akan memberi banyak manfaat bagi negara. “Saya kira perubahan belum akan ada dengan ditunjuknya Bakhit. Dia bukan figur pemimpin yang dapat melakukan perubahan itu. Padahal kita saat ini sangat butuh akan perubahan,” pungkasnya.
Bibit Mesir di Yaman
Tak jauh berbeda dengan kondisi di Yordania, situasi perpolitikan di Yaman juga terus memanas. Kondisi di Yaman bahkan menyerupai Mesir menyusul munculnya aksi demonstrasi massa pro dan anti-pemerintah. Kedua massa menggelar aksi damai di Ibu kota Yaman, San'a. Dalam aksi yang digelar di lapangan tahrir San'a, kalangan oposisi menuntut presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh turun dari jabatannya.
Sebaliknya, massa pro-pemerintah menilai kalangan oposisi merupakan bagian dari kaum ekstrimis yang tidak menginginkan terjadinya demokrasi. “Saya datang ke sini untuk melawan kalangan ekstrimis dan untuk mendukung demokrasi di Yaman,” kata salah satu massa pro pemerintah, Sadiq Al Qadoos kepada New York Times.
Kontan aksi yang berlangsung pada Kamis (3/2) itu membuat kekhawatiran di kalangan masyarat. Mereka umumnya khawatir bentrok akan terjadi seperti di Mesir. Guna meredam terjadinya konflik, Presiden Yaman telah menyatakan tidak akanmencalonkan diri kembali atau pun menunjuk sang anak dalam pemilu yang akan berlangsung tahun 2013.