REPUBLIKA.CO.ID, Usai mendukung Hosni Mubarak tetap memimpin Mesir, Amerika Serikat langsung mengirimkan kapal-kapal perangnya termasuk satu kapal induk dengan muatan sebanyak 800 pasukan, dan berbagai aset militernya ke Mesir. Namun, para pejabat di Washington mengaku bahwa langkah tersebut dipersiapkan untuk mengevakuasi warga Amerika dari Mesir.
Pentagon membantah asumsi bahwa Washington tengah mempertimbangkan intervensi militer di Kairo. Ditegaskan pula bahwa tujuan dari pengiriman armada perang itu semata-mata untuk mengevakuasi warga AS jika situasi di Mesir semakin memburuk.
Secara terpisah, sebuah kapal induk AS diinstruksikan membatalkan misi dan tetap berada di Mediterania. Langkah ini dilakukan setelah bulan lalu militer AS menempatkan pasukannya di Semenanjung Sinai, Mesir, guna membantu Pasukan dan Pengawas Multinasional yang menjaga perjanjian damai Mesir-Israel.
Pada hari Ahad (6/2), para penentang Mubarak, termasuk kelompok oposisi utama Mesir, Ikhwanul Muslimin, berunding dengan Wakil Presiden Omar Suleiman, sebagai bagian dari upaya untuk keluar dari kebuntuan politik. Meski demikian, Ikhwanul Muslimin tetap menolak usulan reformasi seraya menyatakan bahwa demonstran tidak akan menerima apa pun kecuali pengunduran diri Mubarak.
Di lain pihak, Presiden Amerika Serikat Barack Obama, dalam mereaksi perundingan tersebut mengusulkan pembentukan pemerintahan representatif di Mesir, menyusul kedua pihak gagal mempersempit perbedaan mereka.
Jutaan warga Mesir turun ke jalan-jalan kemarin (6/2) dalam rangka menghormati ratusan pengunjuk rasa yang gugur syahid selama 13 hari terakhir. Menurut laporan PBB setidaknya 300 orang tewas dan ribuan lainnya terluka dalam demonstrasi di Mesir.