REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Para pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir yang dibarikade di jantung kota Kairo telah bersumpah akan tetap tinggal hingga Mubarak berhenti. Mereka masih berharap aksi yang telah digelar selama dua pekan di jalananan itu akan mengumpulkan banyak massa lagi pada Selasa dan Kamis.
Pasalnya banyak pemuda yang kecewa dan menolak dialog politik yang telah dilakukan. Amerika Serikat (AS) telah mendesak semua pihak untuk bersabar demi sebuah transisi yang tertib dalam tatanan politik Mesir yang selama berdekade telah menjadi sekutu strategis.
Namun demonstran cemas ketika Mubarak pergi ia tidak akan digantikan oleh demokrasi yang mereka inginkan. Alih-alih mereka akan dipimpin lagi oleh penguasa otoriter.
Oposisi telah menyerukan amandemen terhadap konstitusi demi landasan hukum pelaksanaan pemilu presiden yang bebas dan adil, pembatasan masa jabatan presiden, pembubaran parlemen, sekaligu untuk dasar hukum pembebasan tawanan politik dan penghapusan undang-undang darurat.
"Kami terus memeriksa dan memantau situasi. Kita akan terus mempertimbangkan ulang seluruh pertanyaan utama dalam dialog, untuk menentukan sikap kami" demikian menurut jurubicara Ikhwanul Muslimin, Essam el-Erian.
"Kami akan mengevaluasi ulang berdasar hasil. Beberapa tuntutan mungkin akan dipenuhi tetapi belum ada tanggapan terhadap tuntutan utama kami yakni Mubarak pergi. Jika itu yang terjadi, maka dialog tak mungkin dilakukan lagi"
Potensi bangkitnya kekuasaan Ikhwanul Muslimin--yang dipandang luas oleh rakyat sebagai grup oposisi terbaik--telah menyulitkan posisi Barat dan juga Israel sebagai sekutu Mesir. Keberadaan grup tersebut juga dianggap mengancam perdamaian di wilayah Arab.
Presiden AS, Obama, pada Minggu sempat mengatakan Ikhwanul Muslimin tidak mendapat dukungan mayoritas. Kemudian pada Senin, Gedung Putih menyatakan keprihatian terhadap retorika anti-Amerika yang kerap diusung Grup.
Namun Gedung Putih terlihat menahan diri untuk tidak mengatakan menentang pengambilalihan kekuasaan pemerintah di masa depan oleh grup tersebut. "Kami tidak memiliki kesepakatan dengan Ikhwanul Muslimin," demikian juru bicara Gedung Putih, Robert Gibs kepada wartawan.
Mubarak, 82 tahun, yang menolah seruan untuk mengakhiri masa jabatannya selama 30 tahun sebelum pemilu September, mengatakan pengunduran dirinya hanya akan mengakibatkan kekacauan di dunia Arab. Ia juga mencoba fokus terhadap pemulihan ketertiban. Pemerintahannya, oleh rakyat, dipandang sekedar mengulur waktu.
Sementara untuk membuat arus lalu lintas kembali berjalan di sekitar Lapangan Tahrir, tentara pada Senin, mencoba mempersempit area yang diduduki para pengunjuk rasa. Tadi malam para pengunjuk rasa bergegas keluar dari tenda untuk mengelilingi tentara yang mencoba menggeser mereka ke area lebh kecil.
Peran tentara yang masih berkuaa di pekan-pekan mendatang dianggap krusial bagi masa depan Mesir. "Tentara mulai gelisah, begitu pula massa aksi. Tentara ingin mempersempit ruang gerak kami hanya di lingkaran kecil di tengah lapangan agar lalu lintas berjalan lagi," demikian tutur seorang peserta aksi, Mohamed Shalaby, 27.
Kebangkitan rakyat, yang disebut oleh beberapa aktivis sebagai "Revolusi Nil" dikabarkan telah merenggut 300 nyawa sejauh ini, demikian menurut penghitungan PBB.
Keberadaan dialog antara pemerintah dengan Ikhwanul Muslimin--yang anggotanya telah ditekan oleh pasukan keamaan menakutkan bentukan Mubarak--merupakan perkembangan nyata yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelum muncul kebangkitan.