REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA - Raja Hamad dari Bahrain telah meminta putra sulungnya, Pangeran Salman, untuk memulai dialog nasional untuk menyelesaikan krisis politik negara Teluk itu. Pangeran, yang sebelumnya meminta pengunjuk rasa untuk mundur dari jalanan, diberi kewenangan untuk berbicara dengan semua pihak, sebuah pernyataan mengatakan.
Tentara menembaki para demonstran yang tengah melakukan long march ke pusat ibukota Manama pada hari Jumat, melukai paling sedikit 50 orang. Presiden AS Barack Obama telah menelepon Raja Hamad mendesaknya untuk menahan diri.
Bahrain, sekutu dekat Amerika, harus menghormati "hak-hak universal" dari rakyat dan merangkul "reformasi bermakna", katanya.
Banyak pengunjuk rasa di Manama, yang memiliki mayoritas Muslim Syiah tak tak puas, telah menyerukan penggulingan keluarga kerajaan Muslim Sunni. Namun para pemimpin pro-demokrasi dilaporkan telah menunda demonstrasi anti-pemerintah yang dijadwalkan berlangsung hari Sabtu.
Berbicara di televisi negara Bahrain, Pangeran Salman menyatakan penyesalan untuk "hari iyang menyakitkan" dan menyerukan persatuan. "Kami berada di persimpangan jalan," katanya.
"Pemuda akan keluar ke jalanan dan menyatakan tidak memiliki masa depan di negeri ini, sementara yang lain akan keluar untuk mengungkapkan cinta mereka dan loyalitas. Tapi negara ini adalah untuk Anda semua, untuk Syiah dan Sunni," katanya.
Semalam di Manama, suara tembakan masih terdengar. Wartawan BBC Caroline Hawley, di Manama, mengatakan prosesi pemakaman salah satu pengunjuk rasa yang tewas awal pekan ini berubah menjadi ajang lain demonstrasi anti-pemerintah.
Alun-alun di pusat ibukota telah ditutup oleh tentara untuk mencegah demonstrasi lebih besar-besaran. Salah satu pengunjuk rasa, pegawai bank 27 tahun, Ali al-Haji, mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa peluru tajam telah digunakan. "Orang-orang mulai berlari ke segala arah dan peluru terbang, aku melihat orang-orang ditembak di kaki, dada dan satu orang mengalami perdarahan dari kepalanya," katanya.
Lebih dari 120 orang dirawat di rumah sakit setelah bentrokan, yang menderita dampak gas air mata, beberapa dengan patah tulang dan satu orang dengan luka tembak di kaki, para pejabat medis mengatakan kepada BBC.
Ulama paling senior Syiah Bahrain, Sheikh Qassem Issa, menggambarkan serangan terhadap para demonstran sebagai "pembantaian" dan mengatakan pemerintah telah menutup pintu untuk berdialog.
Negara-negara Barat telah mendesak Bahrain untuk menahan diri dalam menghadapi pengunjuk rasa dan menyerukan reformasi yang berarti di negara kerajaan itu.
Bahrain adalah rumah bagi Angkatan Laut Armada Kelima AS dan sekutu utama AS di kawasan itu selain Arab Saudi.