REPUBLIKA.CO.ID,MANAMA--Setelah hampir sepekan didera unjuk rasa, Bahrain mulai mempersiapkan pembicaraan damai. Usulan yang diajukan Raja Hamad bin Issa Al-Khalifa ini, Raja Bahrain, menunjuk putra sulungnya, Pangeran Salman bin Hamad Al-Khalifa, untuk memulai dialog guna menyelesaikan krisis di negara Teluk tersebut.
Raja Hamad menjamin lewat dialog tersebut, aspirasi warga akan terakomodir. Ia berjanji aspirasi semua warga negara, dari segala golongan akan dikabulkan dalam dialog nasional tersebut.
Hal serupa juga diutarakan Pangeran Salman. Dalam sebuah acara televisi, wakil komanda tertinggi angkatan bersenjata tersebut mengatakan gejolak di negara tersebut telah membawa Bahrain di titik persimpangan. ''Kini saatnya untuk duduk bersama dan berunding, bukan saling bertarung,'' tegasnya.
Ia mengatakan pemerintah membuka pintu dialog selebar-lebarnya dengan kelompok oposisi. Bahkan Pangeran Salman berjanji semua partai politik di negara tersebut diperbolehkan ikut andil dalam pembicaraan tersebut. Rencananya dialog akan segera dilakukan Ahd (20/2) waktu setempat.
Meski demikian, para pemimpin oposisi Bahrain belum menentukan sikap apakah akan bergabung dalam pembicaraan damai dengan pemerintah. Menurut tokoh oposisi di parlemen, Abdul-Jalil Khalil, pihaknya memang sedang mempertimbangkan tawaran monarki tersebut. ''Tetapi, kami menggaris bawahi, hingga kini belum ada pembicaraan langsung terkait tawaran ini,'' ujarnya.
Sementara itu, oposisi lainnya menyerukan warga agar kembali mogok massal. Kelompok yang berasal dari para serikat pekerja ini mencoba menekan pemerintah Bahrain untuk segera mengabulkan keinginan para pengunjuk rasa. ''Serikat pekerja perusahaan penerbangan telah meminta para anggota yang tergabung dalam Persatuan Pekerja Bahrain untuk memulai mogok bersama 20 Februari ini,'' ujar seorang anggota serikat pekerja yang enggan disebutkan namanya.
Hingga kini, ratusan pengunjuk rasa masih memadati Pearl Square. Warga memadati lokasi tersebut, setelah penarikan pasukan kemanan Bahrain di wilayah tersebut, Sabtu (19/2), setelah sebelumnya menyerbu kamp tersebut sejak Kamis (17/2), dan menyebabkan empat tewas dan 231 orang terluka. ''Kami tidak takut akan kematian. Silahkan tentara datang dan membunuh kami. Kami akan buktikan pada dunia betapa brutalnya mereka,'' kata salah satu pengunjuk rasa, Umm Mohammed.
Sementara itu, dilokasi yang sama, sejumlah massa lainnya juga berdatangan. Massa yang membawa bendera Bahrain tersebut, mengelu-elukan ungkapan meminta perdamaian. Gempuran unjuk rasa di Bahrain dimulai Selasa, 15 Februari lalu. Masyarakat yang didominasi kelompok syiah, sekitar 70 persen dari 1,3 juta jiwa, berdemonstrasi menentang pemerintahan yang didominasi kelompok sunni.
Warga menganggap pemerintah bertindak diskriminatif terhadap kaum syiah. Tak hanya dalam hak untuk memperoleh jasa kesehatan dan pekerjaan yang layak, terutama di pemerintahan, diskriminasi juga terlihat pada kebebasan mengungkapkan suara dan berpolitik.
Unjuk rasa semakin besar, seiring dengan tindakan represif militer kepada demonstrans yang berakhir dengan tewasnya dua pengunjuk rasa, Mahmoud Makki Ali (22) dan Ali Mansour Ahmad Khoder (52), Rabu (16/2). Tuntutan pengunjuk rasa berubah semakin ekstrim.
Mereka mendesak Perdana Menteri Bahrain, Khalifa bin Salman Al-Khalifa, paman dari Raja Hamad, mundur dari kursi kepemimpinannya yang telah diduduki selama 40 tahun, sejak 16 Desember 1971. Tak hanya itu, mereka juga ingin Raja Hamad, yang berkuasa sejak 6 Maret 1999, turun tahta.
Krisis ini telah menghancurkan perekonomian. Sejumlah investor menarik dana secara besar-besaran dari negara ini.
Sebelumnya, krisis serupa juga terjadi di Mesir dan Tunisia. Menurut sejumlah pengamat, pergolakan menuntut monarki Bahrain bisa menyebabkan goncangan serius di wilayah Timur Tengah.
Negara ini merupakan sekutu dengan Arab Saudi dan rumah bagi Angkatan Laut Armada Kelima Amerika Serikat. Bahrain merupakan salah satu negara produsen minyak terbesar di dunia.