REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Krisis politik yang tidak kunjung usai di Libya berpotensi menimbulkan perang saudara. Ini terungkap setelah putra Presiden Moamar Khadafi, Seif al-Islam Gadhafi mengancam akan memerangi seluruh demonstran anti-pemerintah.
Dalam pernyataan resmi pertamanya sejak aksi demonstrasi melanda Libya, pemerintah Khadafi mengancam akan memerangi setiap demonstran hingga akhir. "Kita bukan Tunisia atau Mesir. Moamar Khadafi adalah pemimpin kami. Dia yang pernah memimpin pertempuran di Tripoli dan kami semua bersama tentara ada di belakangnya," kata Seif.
Dia menegaskan, pemerintah tidak mentolerasnsi setiap unjuk rasa yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan. Karena itu pihaknya tidak akan pandang bulu terhadap pada demonstran, tak terkecuali demonstran wanita. "Puluhan ribu militer bersamanya (Moamar Khadafi). Kita akan bertarung hingga orang terakhir, pria terakhir, wanita terakhir, dan peluru terakhir," tegasnya.
Pernyataan yang dikeluarkan Seif itu merupakan respon dari aksi massa yang telah melanda ibu kota Tripoli. Massa anti-pemerintah bahkan telah berhasil merebut sejumlah pos strategis, termasuk pangkalan militer. Alhasil kalangan anti-pemerintah kini memiliki bekal persenjataan yang dikhawatirkan makin memperburuk kondisi di Libya.
Seif mengatakan, masih ada jalan untuk perdamaian lewat meja perundingan. Pemerintah, kata dia, membuka ruang untuk reformasi, terutama pada konstitusi, aturan hukum, dan media.
Sementara itu, ratusan ribu pengujuk rasa anti-pemerintah tetap bertahan di sejumlah kota di Libya. Mereka menyerukan aksi tanpa batas waktu, hingga Moamar Khadafi mundur. Sekitar 200 pengacara dan hakim juga larut dalam demonstrasi anti-pemerintah di depan pengadilan Tripoli.
Aksi ini mendapat pengawalan ketat dari polisi Libya. Total, pemerintah telah menyebar dua juta tentara dan polisi untuk menumpas aksi massa.