REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Menteri Kehakiman Libya, Mustafa Abdul Jalil, mengundurkan diri. Dia mengatakan memprotes keras "situasi berdarah" dan "penggunaan kekerasan yang berlebihan" terhadap demonstran yang tak bersenjata, menurut koran Quryna Libya.
Sementara itu, wakil duta besar Libya untuk PBB menyebut tindakan keras itu sebagai "genosida". "Pembunuhan massal telah mencapai tahap di mana tidak ada yang bisa tinggal diam tentang hal itu," katanya.
"Setiap kali orang yang mendapatkan ke jalanan, setiap kali mereka mendemonstrasikan secara damai, tentara dan milisi yang menembaki mereka," kata diplomat, Ibrahim Dabbashi, pada CNN.
Namun, menurutnya, demonstran tak goyah. "Orang-orang Libya bertekad untuk menyingkirkanny.a Ini soal waktu. Saya tidak tahu berapa lama akan berlangsung, namun akan segera," katanya.
Dewan Keamanan PBB menjadwalkan pertemuan Selasa pagi di Libya atas permintaan Dabbashi, setelah sebelumnya mengadakan konsultasi.
Sementara itu, wartawan asing tak bebas melaporkan apa yang terjadi di Libya. CNN tidak bisa segera mengkonfirmasikan laporan untuk daerah yang paling luar Benghazi. Pemerintah Libya mempertahankan kontrol ketat pada komunikasi.
Mengutip sumber-sumber rumah sakit, Human Rights Watch mengatakan Senin bahwa setidaknya 233 orang telah tewas dalam seminggu terakhir pergolakan. CNN telah melakukan komunikasi dengan petugas medis dan saksi di Libya, yang menguatkan klaim Human Rights Watch tentang jumlah korban. Tetapi Dabbashi mengatakan jumlah korban bisa mencapai 800 orang.