REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH - Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Selasa (22/2) mengatakan Kamboja membatalkan rencananya untuk meminta Thailand menandatangani gencatan senjata permanen. Sebelumnya Kamboja ingin agar gencatan senjata permanen tersebut ditandatangani dengan disaksikan oleh ketua ASEAN atau perwakilannya saat pertemuan para menteri luar negeri ASEAN pada Selasa di Jakarta.
"Saya telah menyampaikan kepada (menlu) Hor Namhong, tidak perlu meminta Thailand untuk menandatangani gencatan senjata permanen karena Thailand sudah mengumumkan akan menerima pemantau dari Indonesia ke kawasan sengketa," kata Hunsen saat upacara kelulusan di Royal University Phnom Penh.
"Kamboja menyambut penawaran (Thailand) untuk menerima pemantau yang ikut dalam pasukan Thailand," katanya dan menambahkan "dan Kamboja juga akan meminta pemantau dari Indonesia untuk ikut di pihak Kamboja secepat mungkin," ujarnya. "Saya tidak ingin Thailand untuk menandatangi persetujuan di Jakarta namun hal itu akan macet di Bangkok karena parlemen Thailand gagal untuk meratifikasinya," katanya.
"Hingga saat ini, situasi di perbatasan makin membaik bila tidak ada perubahan dari pemimpin Thailand. Gencatan senjata akan terjadi dan akan ada pemantau dari Indonesia," katanya. Namun PM Hun Sen mengungkapkan kekhawatirannya "bila terdapat perubahan di pihak Thailand mengenai permintaan pemantau dari sekarang hingga sore nanti."
Hun Sen di saat yang sama menekankan bahwa "Kamboja menyambut para pemantau untuk mengawasi jalannya gencatan senjata dan mereka dapat pergi ke garis depan dan memeriksa persenjataan serta logistik kapan pun, di mana pun dan apa pun, tidak ada yang disembunyikan." "Para pemantau dari Indonesia sudah cukup untuk memastikan gencatan senjata," katanya mengungkapkan keyakinannya.
"Namun isu mengenai perbatasan dengan Thailand tidak akan selesai dengan mudah, hal itu tidak dapat terselesaikan dalam satu atau beberapa hari namun butuh waktu yang lama," katanya. PM mengungkapkan bahwa Kamboja sudah menyiapkan dokumen dan akan mengajukan banding kepada Mahkamah Internasional di Hague untuk meminta penjelasan atas putusan 1962 untuk menghentikan perselisihan.
Hun Sen juga mengklarifikasi pernyataan kelompok 'Kaos Kuning' di Thailand yang mengatakan bahwa komandan militer Thailand sudah menandatangani persetujuan dengan komandan militer Kamboja yang dipimpin oleh anaknya Hun Manet dalam negosiasi pada 19 Februari. "Negosiasi dilangsungkan pada Sabtu pekan lalu antara dua komandan pasukan militer itu adalah permintaan dari kedua pihak," katanya.
"Tidak ada persetujuan yang ditandatangani pada pembicaraan tersebut, saya menyatakan kepada kelompok 'Kaus Kuning' bahwa tidak ada persetujuan yang ditandatangani, kedua komandan pasukan hanya datang untukk bertemu untuk meredakan situasi --yaitu tidak ada pergerakan pasukan, penambahan tank dan pasukan di kawasan sengketa.
Kamboja dan Thailand mulai berkonflik terkait masalah perbatasan hanya satu minggu setelah kuil Kamboja Preah Vihear dijadikan situs Warisan Dunia pada 7 Juli 2008. Konflik itu disebabkan oleh klaim Thailand mengenai kepemilikan daerah di sekitar kuil seluas 4,6 kilometer persegi.
Bentrokan terbaru terjadi pada 4-7 Februari dengan baku tembak dari kedua pihak di perbatasan yang menewaskan dan melukai banyak tentara dan warga sipil serta puluhan ribu penduduk kedua negara harus mengungsi. Para menlu ASEAN hari ini (22/2) berkumpul di Jakarta untuk membicarakan perselisihan perbatasan antara Kamboja dan Thailand yang telah memakan waktu 2 tahun dan korban jiwa hampir 20 orang. ASEAN terdiri dari Brunai Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.