REPUBLIKA.CO.ID,ALJIERS--Aljazair Kamis mencabut undang-undang keadaan darurat yang telah berusia 19 tahun sebagai konsesi pada oposisi yang dirancang untuk mencegah gelombang demonstrasi yang meluas di dunia Arab. Mengakhiri kekuasaan darurat adalah salah satu tuntutan yang disuarakan oleh kelompok oposisi yang telah mengadakan demonstrasi mingguan di ibukota Aljazair, Aljiers, yang berusaha untuk menyamai demonstrasi di Mesir dan tetangganya Tunisia.
Bagaimanapun, para penyelenggara unjuk rasa mengatakan pada kantor berita Inggris Reuters pekan ini bahwa pencabutan keadaan darurat tidaklah cukup, dan bahwa pemerintah harus membolehkan kebebasan yang lebih demokratis lagi. Dalam surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Abdelaziz Bouteflika, pencabutan keadaan darurat itu mulai berlaku Kamis setelah keputusan itu dipublikasikan dalam lembaran resmi negara.
Aljazair adalah pengekspor besar energi yang memompa gas melalui pipa saluran di bawah Laut Tengah ke Eropa. Undang-undang keadaan darurat diterapkan untuk membantu pihak yang berwenang melawan gerilyawan Islam, tapi dalam beberapa tahun terakhir kekerasan telah berkurang dan para pengkritik pemerintah telah menduga aturan-aturan darurat itu diterapkan untuk menekan kebebasan politik.
Pencabutan keadaan darurat akan memiliki implikasi praktis. Aturan-aturan baru juga telah diadopsi, yang akan membolehkan militer untuk terus melibatkan dirinya dalam keamanan di dalam negeri, sebagaimana yang militer lakukan pada masa kekuasaan darurat. Aturan-aturan darurat melarang unjuk rasa di ibukota, tapi Bouteflika mengatakan bulan ini bahwa pembatasan itu akan tetap berlaku untuk jangka waktu tak terbatas.
Bouteflika, yang berusia 73 tahun, mungkin akan tetap mendapat tekanan -- dari para demonstran dan dari dalam pemerintahan yang berkuasa -- untuk menghasilkan perubahan lagi dan untuk menjelaskan pada rakyat apa rencana yang akan ia lakukan.