Jumat 25 Feb 2011 09:54 WIB
Pro-Kontra

TKI di Libya Sangat Ketakutan

Rep: Rosyid Nurul Hakim/ Red: Johar Arif
Anis Hidayah
Foto: Antara
Anis Hidayah

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Usai Mesir, kini Libya menjadi target evakuasi WNI. Menurut catatan Kemenlu, jumlah WNI di Libya tercatat 875 orang, 130 di antaranya mahasiswa. Namun, Migrant Care mengatakan TKI di Libya saja sudah sekitar seribu orang, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sejauh ini belum ada kabar WNI jadi korban di tengah konfrontasi berdarah di negeri itu.

Upaya evakuasi WNI dari Libya sedang disiapkan. Pemerintah pun diminta agar tidak mengulang diskriminasi. Konon, dalam evakuasi WNI dari Mesir, yang diutamakan adalah mahasiswa dan keluarga diplomat. Sementara TKI ditinggalkan dalam situasi takut dan sulit. Akan seperti apa proses evakuasi kali ini? Berikut wawancara dengan Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah:

Setelah Mesir, kini situasi politik Libya yang bergolak. Bagaimana nasib TKI di sana?

Mereka sangat ketakutan, tapi kesulitan untuk mengakses dan menyelamatkan diri ke KBRI.  Pemeritah harus proaktif untuk mengevakuasi mereka dengan mendatangi rumah majikan mereka. Terabaikannya evakuasi TKI di Mesir, yang memunculkan tuduhan diskriminatif, harus jadi pelajaran. Yang dievakuasi jangan lagi hanya mahasiswa dan keluarga diplomat.

Terkait kondisi politik Libya yang mengganas, dari pemantauan Migrant Care bagaimana keadaan tenaga kerja Indonesia (TKI) di sana?

Ada kesulitan soal data, karena selama ini di negara yang //establish// saja pendataan tentang TKI belum mapan. Apalagi di Libya atau negara Arab yang lain, (pendatannya) lebih buruk lagi.

Berapa jumlah perkiaraan TKI di Libya?

Sekitar 1.000 orang TKI di sana. Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan sebagainya. Sekarang situasi di Libya lebih panas dari Mesir. Pemerintah harus lebih ekstra dalam upaya evakuasi, harus pro aktif.

Apa yang mendesak dilakukan?

Hal paling utama yang harus dipastikan pemerintah adalah identifikasi data yang mendetail, baik keakuratan maupun jumlahnya. Ini tidak hanya bisa dikerjakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di sana, tapi terkait pekerjaan pemerintah di sini juga.

Bagaimana Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kementerian Tenaga Kerja,  misalnya, membuat pusat- pusat pengaduan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.Mereka yang bekerja di luar negeri itu kan berasal dari berbagai daerah. Sehingga, kalau ada yang melaporkan keluarganya sedang berada di Libya, akan jauh lebih mudah mendatanya.

Proses evakuasi di Mesir bisa jadi pelajaran. TKI-nya hanya beberapa orang yang dipulangkan. Ini karena soal data, soal akses, soal kejangkauan mereka dan sebagainya. Sehingga, banyak yang ingin pulang tapi tidak bisa.

Apa yang Anda lihat dari upaya pemerintah mengevakuasi TKI di Libya?

Upaya sudah ada, tapi belum maskimal. Artinya pelajaran saat evakuasi TKI dari  Mesir itu sangat penting. Kalau mahasiswa, diberi tahu, lalu mereka ke KBRI, bisa. Tapi kalau TKI agak sulit, apalagi mereka yang bekerja di rumah.

Apakah para TKI ini tidak dibekali prosedur untuk keluar dari situasi sulit seperti di Libya itu?

Tidak pernah dibekali cara menghadapi kondisi seperti ini. Dari dulu mereka terkendala masalah akses, misalnya bagaimana bisa menelepon atau mendatangi  KBRI. Itu dialami banyak TKI. Mereka tidak ada akses komunikasi dan tidak semuanya bisa keluar (dari rumah majikan). Ini memerlukan upaya dari pemerintah (untuk membantu mereka).

Solusi apa yang harusnya diambil oleh pemerintah?

Sinergi KBRI, pemerintah di sini, dan pemerintah daerah. Sinerginya dengan membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Ini yang belum ada.

Tadi Anda mengatakan pemerintah harus mengambil pelajaran dari proses evakuasi di Mesir. Apa sebenarnya yang harus dipelajari?

Tuduhan diskriminasi terhadap TKI muncul, karena mayoritas yang dievakuasi pelajar, keluarga diplomat. Untuk menepis itu, pemerintah harus terbuka kepada masyarakat. Jangan terulang di Libya atau bahkan Bahrain yang sama-sama sedang megalami gejolak politik.

Tapi sebenarnya, apa yang menjadi kesulitan KBRI Mesir kemarin adalah tidak punya data TKI. Mereka juga tidak mungkin mendatangi rumah tangga satu-satu tempata para TKI itu bekerja.

Adakah upaya Migrant Care untuk ikut mengatasi masalah ini?

Saya sudah pernah menyampaikan ke Menteri Tenaga Kerja soal Mesir, untuk membuat pengaduan yang lebih berbasis masyarakat, sehingga masyarakat lebih mudah mengakses. Tapi belum sempat diimplementasikan keburu revolusi selesai dan evakuasi selesai.

Dari pengamatan Migrant Care, apa yang dialami oleh para TKI saat situasi negara tempat dia bekerja kurang kondusif?

Ketakutan. Lihat dan baca berita jadi ketakutan. Bagaiman mau keluar tidak tahu. Makanya Migrant Care sendiri berinisiatif mengontak jaringan kita di berbagai daerah. Kita menjadi posko paling sederhana untuk mengakses itu.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement