REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Swiss memastikan bahwa pihaknya telah membekukan berbagai macam aset yang dimiliki baik pribadi Presiden Libya Muammar Ghaddafi maupun keluarganya, yang mungkin tersimpan di luar negeri. Hal itu diyakini bakal menimbulkan reaksi keras dari Tripoli yang menuntut pembeberan bukti-bukti.
"Dewan federal sangat mengutuk penggunaan kekerasan yang diterapkan pemimpin Libya dalam menghadapi para pengunjuk rasa," ujar Menteri Luar Negeri Swiss dalam pernyataannya, Kamis (24/2). "Mengigat perkembangan, Dewan federal telah memutuskan untuk membekukan mengenai kemungkinan aset Muammar Ghadddafi," tegasnya.
Jurubicara dari Kementerian Luar Negeri Swis mengatakan tidak begitu jelas apakah Ghaddafi mereka yang benar-benar dekat dengannya memiliki aset di Swiss. Pengumuman ini bakal dilakukan pada akhir minggu ini.
Sementara Menteri Luar Negeri Libya menolak jika dikatakan Ghaddafi memiliki rekening di Swiss atau di beberapa bank lainnya di dunia. "Kami menuntut bahwa... Swiss harus membuktikan pemimpin tertua memiliki dana di beberapa rekening bank atau baik lainnya di dunia," ujarnya menegaskan.
"Menteri Luar Negeri akan mengambil tindakan hukum untuk menuntut pemerintah Swiss atas pernyataan yang tidak dapat dibuktikan tersebut," tegasnya lagi. Menteri Luar Negeri Libya melanjutkan, pernyataan Swiss tersebut menunjukkan "derajat permusuhan kepada Libya dan pemimpimnyua."
Hubungan Swiss dengan Libya memburuk pada 2008 lalu ketika polisi Genewa menahan putra Ghaddafi. Atas kejadian itu, Libya menarik jutaan dolar di bank Swiss, menghentikan ekspor minyak ke Swiss dan melarang dua pengusaha Swiss yang bekerja di Libya untuk meninggalkan negara itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, Swiss telah bekerja keras untuk memperbaiki citranya sebagai surga untuk 'para koruptor. Hal ini juga membekukan aset yang mungkin milik Hosni Mubarak, yang mengundurkan diri sebagai presiden Mesir dan juga mantan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dari Tunisia, yang digulingkan oleh massa pro-demokrasi, dan Laurent Gbagbo dari Cote d'Ivoire, yang menolak untuk mengundurkan setelah pemilu digelar, dimana dunia luar engatakan dirinya telah 'hilang'.