Jumat 04 Mar 2011 09:54 WIB
Trending News

Menelusuri Jejak Kekayaan Qadafi: Cengkeraman Libya di Italia

Rep: Abdullah Sammy/ Red: Johar Arif
Moammar Gaddafi
Foto: .
Moammar Gaddafi

REPUBLIKA.CO.ID-Libya dikenal sebagai salah satu negara berhaluan sosialis. Namun, di Libya konsep yang bertujuan untuk meratakan hasil pembangunan negara ke seluruh rakyat itu bisa diterapkan dengan cara berbeda dibanding apa yang diterapkan negeri sosialis lain macam Kuba atau Cina.

Kolonel Muamar Qaddafi yang menguasai Libya sejak 1969 tampaknya memaknai sosialisme tak hanya kesejahteraan bagi 6,5 juta rakyatnya saja karena nyatanya hampir seluruh hajat ekonomi negeri itu dia kuasai. Walaupun tidak selamanya mayoritas, Qadafi dan keluarga tetap memiliki porsi kepemilikan dalam sejumlah perusahaan nasional.

Salah satu perusahaan yang jadi rujukan kekayaan Qadafi dan keluarga adalah, Libyan Investment Authority (LIA). LIA merupakan perusahaan investasi yang menanamkan modalnya di sejumlah kilang minyak dan lembaga keuangan di Libya dan Eropa. Dengan LIA, Qadafi membentuk sebuah usaha modal yang mampu mencengkram sejumlah Negara.

Perusahaan yang berdiri pada tahun 2006 itu, juga menguasai perekonomian nasional Libya. Mulanya LIA didirikan untuk mengelola surplus cadangan minyak Libya. Kini, berbagai sektor susah disasar LIA seperti properti, infrastruktur, perbankan, pertanian, serta tentu saja minyak dan gas. Portofolio asetnya kini juga mencakup Libyan Foreign Investment Company (Lafico) yang didirikan tahun 1982 dan juga Oilinvest (Tamoil) yang didirikan tahun 1988.

Dengan cakupan bidang usaha ini, LIA layak dijuluki sebagai sovereign wealth fund (SWF) atau perusahaan investasi milik sebuah negara yang menguasai sejumlah aset keuangan besar di berbagai belahan dunia.

LIA memang belum termasuk jajaran SWF kelas kakap macam Abu Dhabi Investment Authority di Uni Emirat Arab yang mengelola aset sampai 870 miliar dolar AS. Atau pemain besar lainnya macam China’s State Investment Company dan  Temasek Holding Singapura yang mengelola aset ratusan miliar dolar AS.

Aset yang dikelola LIA dilaporkan 'hanya' 70 miliar dolar AS.Namun berbeda dengan berbagai SWF itu, LIA dikuasai langsung oleh keluarga sang presiden. Dari penguasaannya di LIA, bisnis Qaddafi pun berhasil menjangkau sejumlah perusahaan multinasional, terutama yang berbasis di Italia. Misalnya perusahaan minyak Eni SpA, perusahaan mobil Fiat SpA, dan bank Unicredit SpA, sebagian sahamnya dikuasai Qadafi.

Tak hanya di Eropa, bisnis LIA juga merambah Amerika Serikat. Koran the Guardian menulis, LIA juga dana yang diputar di berbagai bank Amerika yang nilainya bisa mencapai 500 juta dolar untuk tiap bank. Bahkan LIA juga memiliki saham di grup media Pearson yang mengendalikan Financial Times dan penerbitan Penguin.

Gemerlap pundi-pundi Qadafi di LIA sempat menarik perhatian Bernard Madoff dan Allen Stanford, salah satu pialang investasi kakap Amerika. Situs WikiLekas melaporkan, CEO LIA Muhammad Layas, yang mengklaim mengelola 32 miliar dolar aset likuid yang sebagian besar ditanamkan di perbankan Amerika, merasa kecewa dengan kinerja investasi di Lehman Brothers, bank investasi yang akhirnya kolaps.

Alkisah, Stanford kemudian menawarkan Layas untuk berinvestasi di portofolio Madoff senilai 100 juta dolar AS. Namun, Layas akhirnya menolaknya. Keputusan jitu yang bisa jadi menyelamatkan leher Layas karena Madoff dan Stanford akhirnya ditangkap setelah terbukti menjadi dalang skandal penipuan investasi terbesar di dunia.

Meskipun diyakini banyak dana LIA yang parkir di Amerika atau Eropa, adalah Italia yang merupakan tetangga terdekat Libya di seberang Laut Tengah paling merasakan dampak penetrasi Qadafi melalui LIA. Tarafnya sudah mengkhawatirkan. Sama halnya dengan apa yang dituliskan ekonom Andrew Rozanov dalam Central Banking Journal mengenai dampak SWF. LIA dikhawatirkan tak hanya menjadi senjata ekonomi negara tapi juga politik.

Karena itu, kehadiran Qadafi di sejumlah perusahaan besar juga menimbulkan kekhawatiran adanya motif politik Libya. Skenario terburuknya, Qadafi bisa saja menjadikan LIA sebagai alat untuk menyerang ekonomi Eropa.

Salah satu yang disorot adalah kepemilikan Unicredit, bank terbesar di Italia yang berbasis di Milan. LIA memang hanya menguasai 2,1 persen saham Unicredit. Namun, Bank Sentral Libya juga memiliki 4,6 persen saham bank itu yang dibelinya pada Juli 2010 lalu.

Total kepemilikan Libya di Unicredit nyaris menyamai Mediobanca yang kini tercatat sebagai pihak tunggal yang memegang saham terbesar yaitu 6,8 persen. Mengutip salah satu artikel Bloomberg, hubungan bisnis dengan Libya dinilai telah menghantui perekonomian Italia.

''Dengan kepemilikan LIA atas sebagian saham Fiat, Unicredit, dan Eni, maka Libya telah menguasai setengah dari perekonomian Italia,'' begitu salah satu tulisan yang bertajuk Berlusoni Slavish Countership of Qaddafi Haunts Italy (Hubungan Penghambaan Berlusconi pada Qadafi Menghantui Italia). Pandangan yang bisa dipersempit sebagai kontrol ekonomi Qadafi atas negeri spaghetti itu.

Pandangan yang mulai terbukti keakuratannya begitu krisis politik politik pecah di Libya Februari 2011. Pasca-kerusuhan melanda Tripoli dan Benghazi, Italia menjadi negara pertama yang mengungkapkan rasa gusarnya. ''Situasi di Libya sangat tidak menguntungkan bagi perusahaan Italia yang bisa terganggu aktivitasnya,'' kata Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini di hadapan parlemen.

Apa yang diungkapkan Frattini menuai bukti. Seperti diberitakan Bloomberg, bursa saham Eropa sedang memperlihatkan penguatan yang signifikan bahkan menyentuh level tertinggi sejak tahun 2008. Namun, di tengah sentimen positif itu, saham Eni justru melorot 2,8 persen.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement