Senin 14 Mar 2011 09:16 WIB
Trending: Kiat Jepang Menghadapi Bencana Gempa dan Tsunami

Bangunan Pintar dan Latihan Bencana

Rep: Palupi Annisa Auliani /Erik Purnama/ Red: Stevy Maradona
Helikopter Angkatan Udara Jepang berusaha mendarat di dekat bangunaan yang porakporanda di  Minamisanrikucho, Prefektur Miyagi, Sabtu (12/3)
Foto: AP
Helikopter Angkatan Udara Jepang berusaha mendarat di dekat bangunaan yang porakporanda di Minamisanrikucho, Prefektur Miyagi, Sabtu (12/3)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sebuah tayangan video amatir yang beredar di internet memperlihatkan bangunan tinggi di Tokyo, Jepang, saat digoncang gempa berkekuatan 8,9 Richter. Gedung-gedung pencakar langit di negeri itu bergoyang seperti lidi tertiup angin. Tapi, bangunan itu tetap berdiri kokoh.

Kualitas gedung bertingkat di Jepang disebut sebagai pahlawan pertama yang meminimalkan jatuhnya korban jiwa dari gempa dahsyat yang disusul tsunami pada 11 Maret lalu. Harian New York Times menulis, jauh tersembunyi di dalam tulang bangunan pencakar langit Jepang terdapat tambahan baja penguat, bantalan karet raksasa, dan peredam kejut hidraulik. Kombinasi struktur ini merupakan ‘senjata’ yang membuat bangunan Jepang modern dianggap sebagai yang terkokoh di dunia dalam menghadapi gempa besar.

Aturan soal gedung adalah kuncinya. Di Jepang, setiap bangunan di atas tanah dikenakan standar aturan ketat. Semua ini merupakan satu paket kegiatan pencegahan di negeri yang memang lokasi geografisnya berada di jalur rawan gempa. Jepang pun juga belajar dari gempa Kobe 1995 yang menewaskan lebih dari enam ribu orang akibat rubuhnya banyak bangunan.

Sejak gempa Kobe, penelitian besar-besaran dilakukan untuk terus memperkuat struktur bangunan. Pemerintah Jepang juga melakukan peremajaan (retrofitting) struktur bangunan yang rentan maupun berusia tua. Miliaran dolar AS diperkirakan telah dibelanjakan Pemerintah Jepang untuk membiayai penelitian tersebut.

Hasilnya, Jepang telah mengembangkan struktur canggih untuk bangunan. Sebutan yang digunakan adalah bantalan isolasi dasar (base isolation pads) dan unit ‘penghilang’ (disipasi) energi. Fungsi keduanya adalah meredam getaran bumi selama gempa mengguncang.

Bantalan tersebut diletakkan di bagian paling bawah galian dasar gedung. Sementara unit disipasi berada di dalam struktur bangunan, berupa silinder hidraulik yang memperpanjang dan menyusutkan energi gempa dengan mengalihkannya menjadi goyangan gedung.

Menurut Guru Besar ITS bidang energi, Imam Robandi, kokohnya bangunan pencakar langit di Jepang disebabkan dalam pembangunannya menggunakan teknologi teknologi pengendali pintar untuk gedung. Gedung memakai pendulum terbalik yang dipasang di atas sehingga gedung bisa lentur jika terkena goyangan dahsyat dan antarpaku bumi dalam gedung bisa saling menjaga agar tak roboh. ''Sistem bangunan ini yang belum banyak diadopsi bangunan di Indonesia,'' kata alumnus Tottori University, Jepang, ini.

Kokohnya bangunan di Jepang tetap juga karena sejak awal perencanaan harus melewati proses kontrol teknologi pemerintah. Jika tidak lolos, dipastikan pembangunan akan dilarang. ''Pembangunan gedung dengan sistem teknologi kontrol memang mahal, tapi cocok jika dibangun di daerah rawan gempa. Memang sengaja didesain untuk mengutamakan pelindungan kepada masyarakat,'' kata Imam.

Sementara, di sepanjang pantai negeri matahari terbit ini, tanda peringatan tsunami terpampang jelas, tanggul penahan ombak juga terbangun kokoh, masih ditambah terlihat jelasnya penunjuk arah jalan keluar dari pantai.

Tanggul laut (seawalls) dibangun Jepang terutama pada medio 1980-an dan 1990-an. Beberapa di antara dinding beton menghadap laut ini bahkan ketinggiannya mencapai 40 kaki. Tanggul tersebut merupakan gerbang pertama dalam menghadapi serbuan air laut. Di beberapa kota pantai, jaringan sensor pun sudah disetel untuk memerintahkan warga mengungsi dan sekaligus secara automatis menutup pintu air sebagai antisipasi tsunami ketika terjadi gempa.

Meski demikian, bukan berarti tak ada kritik atas antisipasi tsunami ini terkait dengan masalah lingkungan dan juga rusaknya pemandangan. Dinding ini hanya dianggap sebagai pemberi rasa aman palsu, bahkan membuat warga pantai malas latihan rutin evakuasi tsunami. Keberadaan dinding ini pun dianggap membuat warga pantai kehilangan ‘sense’ membaca situasi laut dari pola gelombangnya.

Seorang insinyur Jepang Kit Miyamoto menyebut dinding laut ini ternyata tak berdaya ketika menghadapi tsunami. ''Tsunami melampaui tanggul kota Sendai, menyapu mobil, rumah, dan lahan pertanian di pedalaman, sebelum berbalik dan membawa mereka keluar laut,'' kata Kit sebagaimana dikutip American Society of Civil Engineers.

Pelatihan rutin

Terlepas dari teknologi dan antisipasi fisik terhadap bencana, peran program pendidikan massal tentang bencana, boleh jadi merupakan kunci utama dari minimnya korban jiwa dari setiap bencana di Jepang, jika dibandingkan dengan bencana berskala sama.

''Program edukasi publik secara massal pada akhirnya mungkin yang telah menyelamatkan sebagian besar warga,'' kata Rich Eisner, pensiunan pakar antisipasi tsunami, seperti dikutip New York Times. Dia menuturkan, di Ofunato, sebuah kota yang pernah dihantam tsunami pada 1960, lusinan sinyal dalam bahasa Jepang dan Inggris terpasang, dan sirene tanda bahaya selalu rutin diuji tiga kali sehari.

Di Ofunato ratusan rumah hanyut terbawa arus tsunami Jumat (11/3). Korban jiwa belum terdata. Tapi Mattew Francis dari URS Corporation dan anggota asosiasi insinyur sipil dari subkomite tsunami Amerika mengatakan, pendidikan publik adalah faktor kritis. ''Bagi populasi terlatih, lima atau 10 menit adalah waktu yang Anda butuhkan untuk mencapai tempat tinggi'' kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement